Selendang Ningratri
CERPEN TANTRINI ANDANG
“Ah, bagaimana mungkin?” Tiba-tiba tengkukku merinding mendengar cerita itu. Membuat pintu untuk menghadirkan jiwa? Secara refleks mataku nyalang mencari-cari bagian mana kira-kira yang menjadi pintu bagi jiwa Ningratri dalam lukisan itu.
Mungkinkah di bagian sudut atas lukisan, tepat pada bulan yang bersinar itu? Atau disembunyikan di antara kerumunan para penonton? Atau mungkin di bagian mata bening Ningratri yang selalu tampak berkilau itu? Om Seno tertawa lagi melihat tingkahku.
“Itu hanya katanya lho. Kamu nggak perlu terlalu memikirkannya. Tugasmu hanya memperbaiki bagian lukisan yang rusak. Itu saja.” Om Seno mengakhiri ceritanya.
***
SUDAH lewat dua jam aku berkutat di kamar untuk memperbaiki lukisan kakek buyutku. Kupoles ulang bagian-bagian lukisan yang rusak. Tidak mudah untuk mengikuti gaya lukis kakek buyutku itu. Tampak sekali bahwa beliau memoles lukisan itu berlapis-lapis. Aku harus berusaha keras agar lukisan itu kembali semirip aslinya.
Hingga menjelang petang, aku memutuskan untuk beristirahat sebentar. Tinggal beberapa bagian lagi yang perlu kubereskan. Kubaringkan tubuhku di lantai yang dingin lalu mulai memejamkan mata. Seluruh tubuhku mulai merasa rileks setelah beberapa saat dalam posisi seperti itu.
Sepertinya baru saja aku tertidur saat tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang jatuh. Aku segera terbangun dari posisi berbaring lalu duduk di lantai. Kupandangi sekeliling. Tak ada benda apa pun yang berubah. Semua masih pada tempatnya semula.
Lalu kuarahkan pandanganku pada lukisan kakek buyut yang kusandarkan di dinding. Aku mengerutkan keningku. Mengapa cahaya bulan di lukisan itu tidak lagi bersinar? Lalu mengapa mata bening Ningratri tidak lagi berkilau? Warna-warna dalam lukisan itu seakan meredup. Tak ada lagi aura yang hidup saat memandangnya.