Selendang Ningratri
CERPEN TANTRINI ANDANG
Aku menghela napas. Lukisan ini sangat luar biasa. Sayang ada beberapa bagian yang agak rusak karena dimakan usia. Lukisan ini tersimpan lama di dalam gudang yang lembab. Ada jamur yang tumbuh di sana-sini. Om Seno yang menemukan lukisan ini di rumah eyang putri. Adik bungsu ibuku itu lalu memintaku untuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Itulah sebabnya kini aku berdiri di depan lukisan itu.
Untuk sesaat aku masih memandangi wajah Ningratri hampir tak berkedip. Kunikmati setiap detil goresan kuas kakek buyutku itu. Beliau mampu menghadirkan sosok Ningratri hingga terlihat begitu hidup. Semakin lama memandanginya, aku semakin terhanyut dengan suasana yang digambarkan dalam lukisan itu.
Aku seakan mendengar bunyi gamelannya, melihat jelas gerakan tarian Ningratri, dan menikmati setiap detil senyumnya yang menawan. Aku merasa seperti benar-benar menjadi salah satu penonton yang berdiri di pelataran itu.
“Memamg cantik ya, ha ha.” Suara tawa Om Seno membuyarkan seluruh bayangan yang ada di pikiranku. Entah sejak kapan lelaki itu masuk ke kamarku lalu berdiri di belakangku. Wajahku terasa panas. Malu rasanya saat ketahuan sedang terpana dengan kecantikan perempuan dalam lukisan.
“Eh…iya Om…” ucapku agak salah tingkah.
“Kamu boleh terpesona dengan kecantikan perempuan itu. Tapi jangan sampai lupa dengan tugasmu ya.” Om Seno lalu tertawa lagi. Aku tersenyum kikuk.
“Namanya Ningratri Om,” kataku sambil menunjuk pada tulisan kecil di bagian bawah lukisan. Om Seno menganggukkan kepalanya.
“Benar itu memang namanya. Nama yang cantik ya, sesuai dengan pemiliknya,” kata Om Seno lagi yang akhirnya ikut memandangi wajah Ningratri.