Selendang Ningratri
CERPEN TANTRINI ANDANG

AKU tidak tahu sudah berapa lama memandangi lukisan setinggi hampir satu meter itu. Seluruh diriku seakan tersedot oleh pesona perempuan dalam lukisan itu.
Wajahnya ayu khas perempuan Jawa yang alami dan lembut. Kebaya warna kuning gading dengan selendang hijaunya menambah pesona yang dimilikinya. Selendang itu seolah benar-benar berkibar dan melayang karena sebuah gerakan seblak.
Ah, kurasa bukan hanya selendangnya. Seluruh lukisan itu memang terlihat hidup. Bahkan mata bening penari itu juga seolah sedang menatapku, membuatku ingin terus memandangnya.
Tanpa sadar aku melangkah lebih dekat lagi dengan lukisan itu. Kuraba bagian wajah penari itu hanya untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa perempuan ayu itu sekedar sebuah lukisan, bukan perempuan sungguhan.
Sialan! Kuakui pembuat lukisan ini sangat piawai memainkan kuasnya hingga lukisan di depanku ini benar-benar tampak nyata.
Kata Om Seno, konon perempuan penari dalam lukisan ini dulu memang pernah ada. Pelukisnya masih terhitung sebagai salah satu kakek buyutku sendiri. Tepatnya adik kandung dari eyang buyut putri yang melahirkan eyang putriku. Hanya sedikit anggota keluarga besarku yang memiliki bakat melukis. Aku adalah salah satunya. Namun lukisan kakek buyut ini memang sangat luar biasa.
Perempuan dalam lukisan itu sedang menari di tengah sebuah pelataran terbuka. Cahaya bulan menyinari pelataran dan memantulkan kilaunya di wajah mulusnya. Ada kerumunan penonton yang berdiri di belakang dan sisi kirinya.
Di sebelah kanan tampak seperangkat gamelan dengan para penabuhnya yang bertelanjang dada. Semua dilukiskan secara detil. Di bagian bawah, tepatnya di dekat tanda tangan kakek buyut, terdapat tulisan dengan ukuran kecil: Ningratri.