Kemarau, Petani di Lamsel Panen Cabai Jawa

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG – Awal musim kemarau atau gadu, sejumlah petani pemilik tanaman puyang atau cabai jawa di Lampung Selatan, mulai memasuki masa panen.

Jumadi, pemilik ratusan batang tanaman yang dikenal juga sebagai cabai jamu, cabai jawa, mulai memanen tahap pertama. Tanaman bernama ilmiah Retrofractum vahl tersebut merupakan tanaman tumpang sari, dengan jenis pohon peneduh pada lahan kebun miliknya.

Jumadi, petani di Desa Banjarmasin, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan, melakukan proses pemanenan puyang atau cabai jamu, dikenal juga cabai jawa, Senin (3/8/2020). -Foto: Henk Widi

Komoditas puyang di lahan kebun miliknya di Dusun Sideder, Desa Banjarmasin, Kecamatan Penengahan, sudah ditanamnya sejak belasan tahun silam. Sebagian tanaman sudah menjadi indukan dengan merambat secara alami pada tanaman lain. Memiliki tanaman kelapa, kakao, pinang, petai dan jengkol, menjadi rambatan alami puyang yang bisa dipanen setahun sekali.

Tanaman puyang siap panen ditandai dengan warna kuning kemerahan. Hanya sebagian petani yang membudidayakan puyang untuk digunakan sebagai bumbu dapur. Pengganti kepedasan cabai tersebut, menjadi alternatif bumbu masakan, jamu tradisional dan rempah yang memiliki khasiat kesehatan. Jarang dibudidayakan membuat harganya lumayan tinggi.

“Petani jarang membudidayakan puyang secara khusus pada satu hamparan, dominan sebagai tanaman tumpang sari pada pohon tegakan utama. Meski hanya selingan, tapi bisa menjadi investasi tahunan cukup menguntungkan,” papar Jumadi, Senin (3/8/2020).

Jumadi menjual puyang atau cabai jawa ke sejumlah pengepul rempah, di antaranya lada dan cengkih. Per kilogram puyang kering, setelah dijemur selama tiga hari dihargai Rp50.000. Harga tersebut, menurutnya berpotensi naik seperti tahun sebelumnya, mencapai Rp75.000 per kilogram. Harga yang lebih mahal dari kakao dan sejajar dengan cengkih, imbas sedikitnya petani menanam komoditas itu.

Lihat juga...