Rasa syak membuat Ojali buru-buru keluar ke beranda, duduk lunglai bagai pesakitan di depan kedua tamunya.
“Hampir kami pulang, mengira kamu malah masuk tidur.” Meski menyindir, kedua tamu itu tertawa lebar.
Kian kecut perasaan Ojali dibuatnya.
Gerak reguk jakunnya sepat. Ia teringat kepergian bininya. Himpitan kesulitan ekonomi rumah tangga tak ubahnya bensin, dan umpat saling menyalahkan berubah jadi geretan; setiap bergesek, api pertengkaran murup.
Hiruk perselisihan itu kian kerap sampai bininya memilih menyingkir dulu. Ingatan itu ikut menjalarkan rasa tak nyaman ke mana-mana: perutnya mulai melilit, sepertinya asam lambung di dalam sedang bergolak menebar rasa perih, menjalar ke bawah, ia rasakan sendi-sendi kakinya ngilu dan goyah, seakan mau berlepasan.
“Sepertinya kamu kurang sehat,” dari seberang meja, ujar salah seorang tamunya membuat Ojali sedikit terperangah. Rupanya sore ini Tuan Ambang mengirim penagih utang yang lebih perhatian dari sebelum-sebelumnya.
Biasanya penagih suruhannya hanya bisa mengumpat dalam kalimat-kalimat kasar yang tak pernah habis. Ojali yakin Tuan Ambang mengubah taktik dalam menagih.
Muka sangar dengan sikap kasar dari penagih yang diutus sebelumnya, yang tidak mangkus membuat ia tergopoh-gopoh membayar, rupanya membuat Tuan Ambang memilih cara sebaliknya –meski sebenarnya Ojali bukan tidak mau membayar tapi memang belum mampu membayar. Jadi digertak dengan wajah seseram apa pun ia tetap tak bergeming.
“Majikan kami setuju dengan cara penyelesaian utang kamu,” ujar yang seorang lagi. “Makanya kami diutus untuk menyampaikan.”
Ojali menyembunyikan ringis heran ketika tamu itu berbicara lagi, “Selama ini, majikan kami telah keliru menilai, mengira kamu orang yang tak tahu diri. Sudah diberi pinjaman, berkali-kali pula, giliran utang jatuh tempo malah menghindar membayar. Kami mengira kamu sengaja mau mengemplang utang.”