BELUM naik ke lantai beranda sudah berbarengan mengucap salam, satu belum duduk yang satunya sudah berkata, “Titip salam dari Tuan Ambang, majikan kami. Kami datang untuk membicarakan soal utangmu.”
Sejak masuk ke halaman dengan langkah tergesa-gesa, sampai melompati tanah belecak sisa hujan semalam, Ojali sudah menduga kedua orang itu datang untuk membuatnya susah.
Perasaan Ojali mulai kecut. Karena hanya mengenakan singlet yang beberapa bagiannya bolong, ia pamit ke dalam untuk bersalin baju. Alasan sebenarnya ia ingin sejenak menenangkan diri, memutar akal mencari alasan apa lagi yang mesti ia dalihkan.
Kesempatan itu ia gunakan berlama-lama. Seusai mengganti baju, ia menyisir rambut dengan isi kepala terus berputar-putar merancang alasan berkelit. Menunggu kiriman ringgit dari adik bininya yang bekerja di Malaysia?
Atau, menunggu harga kopra naik? Atau, menunggu pertumbuhan lele di kolam belakang rumahnya sampai ukurannya cocok untuk dijual?
Keluar ke ruang tamu, ia mengintip lewat celah untai dua helai kain gorden yang tidak saling merapat. Ia mengenali wajah salah seorang tamu di luar yang datang menagih tempo hari.
Berarti alasan-alasan yang ia pikirkan tadi, tidak akan mangkus membuat mereka angkat punggung. Kelitnya lewat alasan itu sudah ia dalihkan di depan penagih itu.
Tamu di beranda ia lihat tak henti celingukan, seakan kepalanya sebentar lagi akan terlepas dari batang leher lalu mencelat ke dalam rumah mencarinya. Lagak gelisah tamu penagih itu, membuat Ojali menduga mereka sedang merencanakan sesuatu.
Jangan-jangan hendak menyerobot masuk dan berbuat kasar? Kalau itu yang terjadi, ia tak bisa apa-apa; ia hanya sendirian, sudah dua minggu bininya pulang ke rumah orang tuanya dan membawa serta kedua anaknya.