Selama 22 tahun era Presiden Soekarno (sistem presidensial hanya delapan tahun), dari tahun 1945 sampai tahun 1949 terjadi perang kemerdekaan, seluruh daya dan upaya bangsa Indonesia waktu itu adalah mempertahankan kemerdekaan—berperang menghadapi agresi militer Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali.
Pada periode ini terjadi dua kali pemberontakan yaitu pemberontakan PKI di Madiun (September 1948) dipimpin Muso dan pemberontakan oleh Negara Islam Indonesia (Agustus 1949) dipimpin Kartosuwiryo.
Berbagai Pemberontakan
Dari tahun 1950 sampai 1959, menggunakan UUD RIS dan UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer di mana kekuasaan pemerintahan (eksekutif) ada ditangan perdana menteri. Pada periode ini terjadi pemberontakan Andi Azis (1950), pemberontakan Kahar Muzakar (1952), pemberontakan PRRI dan pemberontakan Permesta 1958).
Berbagai pemberontakan itu juga berdampak pada jalannya pemerintahan, kabinet jatuh bangun—selama sembilan tahun terdapat delapan perdana menteri dan ada kabinet yang berusia hanya tiga bulan. Dengan iklim politik dan keamanan pada waktu itu, hampir tidak ada pembangunan hingga kesejahteraan masyarakat terabaikan.
Perang dengan Belanda dan Malaysia
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945. Dengan diberlakukan UUD 1945 maka berlaku sistem presidensial di mana presiden sebagai kepala pemerintahan.
Setelah kekuasaan eksekutif berada ditangan Presiden Soekarno, masalah Irian Barat yang seharusnya dirundingkan satu tahun setelah perjanjian KMB —namun tidak dilaksanakan— dituntut kembali oleh Presiden Soekarno.
Karena Belanda tetap kekeh tidak mau merundingkan masalah Irian Barat, maka ditempuh jalan lain yaitu merebut Irian Barat dari tangan Belanda dengan kekuatan militer: perang.