Mengenai mahalnya biaya politik, bahkan mungkin termahal di dunia, Dr. Pramono Anung (Menseskab) menuliskan di buku Basa Basi Dana Kampanye, tentang biaya politik untuk duduk di parlemen.
Disebutkan ada caleg yang mengeluarkan biaya kampanye hingga Rp20 miliar, pada pemilu 2009. Jika Take Home Pay anggota dewan Rp100 juta sebulan, selama 5 tahun hanya menghasilkan Rp.6 miliar. Sulit nalar kita memahami—mengeluarkan dana yang tidak mungkin break event point, kecuali anggota dewan tersebut patriot sejati yang mengorbankan segala-galanya untuk Republik Indonesia.
Namun pada kenyataannya, mahalnya biaya caleg untuk duduk di Senayan — sebagai “Anggota Dewan Yang Terhormat”, berbuah kasus Cek Pelawat, Wisma Atlet, Hambalang, dan yang sangat sadis Al Quran pun dikorupsi.
Pandemi Covid-19 seakan membuka kotak pandora. Rakyat miskin diakhir Orde Baru sebanyak 13%, dikatakan turun menjadi 9,8% selama 22 tahun reformasi. Pada kenyatannya, dari 9 juta penerima bansos di Jawa Barat, ternyata yang butuh bansos adalah 38 juta atau 63% dari penduduk Jabar, kata Ridwan Kamil (29/4). Juga fakta kemiskinan di berbagai daerah bahwa data kemiskinan jauh lebih besar dari data yang diungkap selama ini.
Semoga pada 75 tahun kemerdekaan, di mana kotak pandora terbuka akibat Covid-19 — dapat menjadi hikmah agar bangsa ini ke depan mulai menata kembali sistem politik dan sistem ekonomi, serta jangan mengkhianati para pendiri bangsa. ***
Noor Johan Nuh, Penulis buku dan bergiat di forum Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB) Jakarta