Orde Lama, Orde Baru, Reformasi

OLEH NOOR JOHAN NUH

Sangat disayangkan, master-piece  hasil karya para pendiri bangsa diubah di sidang MPR 1999 hingga 2002 oleh mereka yang nilai kenegarawanannya masih patut dipertanyakan, hingga kita mengalami keruwetan politik yang seakan tidak berujung.

MPR sebagai lembaga tertinggi didegradasi menjadi lembaga tinggi sejajar derajatnya dengan lembaga tinggi lainnya. Presiden bukan lagi sebagai Mandataris MPR yang akan diminta pertanggungjawaban setiap akhir masa jabatannya.

Tidak ada lagi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dihasilkan oleh MPR untuk dilaksanakan oleh Presiden, karena Presiden dan wakilnya tidak lagi dipilih oleh MPR melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Presiden terpilih melaksanakan pemerintahannya sekehendak visinya, tidak ada lagi visi seluruh rakyat Indonesia yang penjelmaannya melalui lembaga MPR.

Tidak saja presiden dan wakilnya,  juga gubernur, bupati dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat. Akibatnya biaya politik menjadi sangat mahal, baik yang dikeluarkan oleh calon presiden, gubernur, bupati/wali kota, ditambah biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menyelenggarakan pemilihan tersebut.

Biaya  politik yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah yang konon mencapai ratusan miliar, sedangkan gaji yang ia terima jika terpilih hanya Rp.6 juta sebulan —total Rp360 juta untuk 5 tahun— sulit akal sehat mencernanya —menginvestasi dana yang return of capital tidak mungkin tercapai— dilakukan oleh para calon kepala daerah dengan gigih habis-habisan,  menghalalkan segala cara — money politics, serangan fajar, petahana menggunakan dana bansos,  bahkan terjadi benturan berdarah antar pendukung di akar rumput.

Lihat juga...