Nyai Sima

CERPEN M. ARIF BUDIMAN

Namun pada suatu senja di tahun kelima usia perkawinan kami, dengan garang kucaci-maki Tuhan. Aku kecewa, mengapa Tuhan membiarkan lelaki yang kucintai membagi hati dengan perempuan lain. Aku marah.

Kuumpat Tuhan di muka masjid. Kutumpahkan segala kekesalanku pada Tuhan dan juga pada lelakiku. Dan kau tahu apa jawab lelakiku setelah aku kembali ke rumah? Ia hanya menjawab, Maaf, Dik. Kau tak bisa memberiku keturunan. Maka dengan sangat terpaksa, aku menduakanmu.

Dasar lelaki buaya! Habis manis sepah dibuang! Ia dengan santainya menjawab pertanyaanku. Ia rela membagi hatinya dengan perempuan lain lantaran aku tak bisa memberikannya keturunan.

Bukankah ada jalan lain selain menduakanku. Bukankah mengadopsi anak merupakan sebuah cara yang dihalalkan di negeri ini? Tapi kulihat lelakiku hanya menggeleng dan melihatku dengan masam. Dan yang membuatku bertambah sakit hati, sehari selepas peristiwa itu kabar angin berhembus.

Seorang ustaz yang masih berkerabat dengannya mengatakan, bahwa Tuhan telah mencibirku lantaran aku pernah mempraktikan kemusyrikan, hingga Tuhan enggan memberiku keturunan.

Dengan dongkol dan mengusung segala macam kekecewaan, kudatangi ustaz itu untuk meminta penjelasan. Kulontarkan segala macam pertanyaan, mengapa ia menuduhku telah mempraktikkan kemusyrikan. Dan ustaz itu hanya menjawab agar aku segera bertobat dan berdamai dengan Tuhan.

Tanpa berpikir panjang, kudatangi salah satu masjid di kampung ini. Dengan seorang marbut, kuceritakan semua ihwal kedatanganku. Aku datang untuk mencari jalan keluar bagaimana caranya supaya dapat berdamai dengan Tuhan.

Sebab kata seorang kiai, Tuhan marah denganku. Dan aku juga ingin meminta tolong supaya Tuhan mau membujuk lelaki yang kucintai untuk kembali ke pelukanku. Kemudian marbut tersebut mempertemukanku dengan seorang kiai.

Lihat juga...