“Sudah kubilang. Kau tak akan bahagia jika kau tak memakai susuk itu,” ujar Nyai Sima, lirih. Perempuan muda kembali merengek.
Ia seperti bayi domba menyusu pada induknya yang belum kenyang namun telah ditinggal pergi. Ia memohon pada Nyai Sima untuk membantu agar lelaki yang dicintainya dapat kembali ke pelukan.
Nyai Sima beranjak dari tempat duduk. Ia tepiskan kedua tangan perempuan muda, lantas mengambil tembakau susur di dalam plastik hitam di atas para-para. Ia ambil sejumput.
Perlahan ia gosok-gosokkan pada giginya yang merah kekuningan. Selepas untuk menggosok gigi, tembakau itu tak lantas ia buang. Namun ia selipkan di balik bibirnya hingga menimbulkan benjolan sebesar bola ping-pong.
Kemudian ia duduk kembali di balai-balai. Lantas bercerita.
“Dulu, aku juga pernah berniat untuk meninggalkan segala bentuk ketidakbaikan seperti yang kau lakukan,” Nyai Sima memulai bercerita dengan tembakau susur masih terselip di bibirnya.
“Aku tanggalkan segala macam pekasih dan susuk, sebab lelaki yang kucintai mengajakku untuk bertobat pada Tuhan,” kini tembakau susur itu ia pindahkan dari sudut bibir kiri ke sudut bibir kanan sembari digosok-gosokkan pada giginya yang merah kekuningan.
“Ternyata cinta telah mengalahkan segalanya. Aku patuhi segala perintah lelaki yang kucintai dengan ketulusan hati. Kulucuti segala macam pekasih dan susuk. Kupatuhi ia lantaran kuharapkan cintanya.
Aku turut. Aku hanya tak mau membantahnya. Aku takut ia marah dan meninggalkanku. Aku takut ia tak mau mengawiniku. Aku ingin kelak menjadi istri yang solehah di matanya dan juga di mata Tuhan. Aku ingin mengabdi pada lelaki yang kucintai. Itu saja.