Nyai Sima

CERPEN M. ARIF BUDIMAN

Ia adalah imam masjid itu. Kubeberkan segala persoalanku. Namun nihil. Seolah Tuhan telah menutup dan mengunci rapat-rapat segala pintu hati para kiai. Mereka tak mau membantuku untuk berdamai dengan Tuhan. Jadi kusimpulkan, Tuhan telah menutup pintu maaf untuk semua kealpaanku.

Tepat malam purnama, kutemui seorang perempuan tua. Ia guruku. Lantas kuceritakan segala macam permasalahan yang sedang kualami. Ia terkekeh. Lalu ludahkan sirih-pinang yang ia kunyah. Aku berharap cemas.

Ia masuk ke bilik, lalu keluar dengan membawa sebuah boneka dan secarik kertas berisi mantera, lantas ia berikan padaku. Aku disuruhnya untuk mempraktikannya sendiri. Aku disuruhnya untuk mencelakai suamiku sendiri.

Pada mulanya aku menolak. Aku tak sanggup. Namun ia terkekeh. Lalu mencaciku. Ia menganggapku sok suci dan munafik. Tapi aku hanya diam mendengarnya memakiku.

Batinku berkecamuk. Haruskah aku melakukan semua itu. Haruskah aku membunuh orang kucintai. Namun iblis datang seolah merayuku. Ia memperdayaiku dengan membawa secawan dendam. Lantas disuguhkan padaku.

Bagai kerbau dicocok hidungnya, aku tak berdaya. Kureguk secawan dendam. Mataku langsung menatap nyalang. Kuambil boneka dan secarik kertas berisi mantera dalam genggaman guruku.

Dan, pada sebuah pagi yang kering. Ketika mentari belum juga terlempar dari mimpinya. Lelaki yang kucintai telah terkapar di atas sajadah dalam keadaan tak bernyawa.

Semua tampak sempurna. Tak ada rasa penyesalan di wajah lelaki yang mulai membiru itu. Ia tampak tersenyum, meski dari sudut mulutnya mengurai darah kehitaman.”

Sejenak suasana hening.

“Lalu, aku harus bagaimana, Nyai?” tanya perempuan muda.

Lihat juga...