Esoknya, sang pemuda mengusulkan untuk membongkar saja kapal besar tersebut; siapa tahu ada harta karun di dalam sana, yang tak terjamah dan belum ditemukan oleh para tamu terakhir. Siapa tahu mereka menemukan sesuatu yang lebih dari harta karun?
“Sesuatu yang seperti apa maksudmu?”
“Entahlah!”
Tak ada yang menggubris pemuda yang sering dicap tidak waras itu. Tapi, semakin lama, kapal sang kapten semakin tampak menyedihkan saja karena tak ada lagi seorang kakek penyendiri yang menghuninya.
Kepala desa dan sebagian warga lalu sepakat dan tak ada kompromi lagi untuk menyingkirkan benda tersebut; mereka cemas akan terjadi hal yang tak diinginkan, misal kapal itu jadi sarang hantu, atau lebih buruk lagi: kapal sang kapten akan dijadikan tempat persembunyian para bajingan.
Tidak ada yang mencatat tanggal dan jam ketika kapal tersebut dibakar di perairan dangkal. Orang-orang lantas memungut benda sisa-sisa yang masih bertahan di dalam kobaran api seperti panci, wajan, gelas seng, jarum jahit, sabuk kepala, koin receh tiada guna, dan lain sebagainya.
Abu kapal menyatu bersama air, ditelan ombak, dilamun oleh waktu, dan tak ada lagi yang peduli. Bertahun-tahun kemudian, barangkali tak lagi ada yang mengingat betapa dulu pernah ada seorang mantan kapten, yang memutuskan pensiun dan tinggal di desa ini, yang juga pernah memberikan “sesuatu” yang berharga untuk desa (entah apa itu) di masa yang telah jauh berlalu.
Tapi kemudian dikubur dalam sepi usai jasadnya membusuk, dan satu-satunya harta peninggalannya dibakar hingga habis tanpa ada tetes air mata. ***
Ken Hanggara, penulis asal Sidoarjo, Jawa Timur. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku fiksinya Museum Anomali (2016), Babi-babi tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).