Hanya saja, tak banyak yang hadir karena itu jam sibuk. Banyak yang pergi melaut atau ada acara tertentu di kota, hingga para pelayat tak lebih dari tiga belas orang.
Kata seseorang, itu angka yang sial. Kematian sang kapten tua ini, menurutnya, jelas sebuah kesialan. Tak ada anak-cucu, tak ada pasangan hidup, tak ada tetangga yang benar-benar akrab. Sudah begitu, tubuhnya busuk pula. Betapa kematian yang tragis.
Demi mendengar ocehan tak sedap itu, seseorang yang lain menyuruh orang yang bicara soal kesialan untuk bungkam saja. Mulut, jika tak bisa digunakan untuk berbicara yang baik-baik, sebaiknya dibungkam atau dijahit bila perlu.
Maka, tidak terdengar lagi suara apa pun sepanjang prosesi pemakaman sederhana itu berlangsung. Setelah tubuh sang kapten berada dalam urukan tanah dan batu nisan, orang-orang pulang, tetapi mereka tak benar-benar ingin pulang dulu.
Mereka penasaran apa isi kapal tua yang tak pernah lagi digunakan untuk berlayar itu? Bagaimana seseorang bisa hidup di situ tidak kurang dari lima puluh tahun (atau setidaknya segitulah yang orang bisa perkirakan)?
Maka, setiap orang pun menelusuri segala sudut kapal raksasa tersebut dan tak ada yang menemukan sesuatu yang menarik selain barang-barang istimewa yang dulu sering dikisahkan para pengunjung khusus “rumah” sang kapten.
Tak ada peristiwa aneh apa pun, jika seseorang berharap menemukan sesuatu yang bersifat gaib atau kutukan. Satu per satu mereka pulang.
Hari beranjak gelap. Ketika para nelayan hendak melaut, tiada lagi pengunjung kapal yang tersisa, kecuali seorang pemuda yang masih terus menatap tiap inci dari tubuh kapal tua tersebut.