SEORANG kapten kapal ditemukan mati tergeletak di kolong bus. Tak ada yang tahu di mana terakhir lelaki tua itu terlihat, hanya lama tak mendengar suara khasnya saat bernyanyi lagu-lagu dari Prancis atau Inggris.
Bahasa itu sangatlah asing di kuping seluruh warga desa, kecuali segelintir saja, yang sayangnya tak pernah ada waktu untuk menjelaskan maksud setiap lagu tersebut.
Jadi, orang hanya akan tahu andai suatu pagi yang dingin tiba-tiba seseorang bersenandung dengan bahasa aneh, bahwa di sanalah dia berada, sang kapten tua yang nyaris tak memiliki teman dekat.
Kapten tua punya kapal yang juga tua, yang lama tidak beroperasi. Tiada yang tahu kapan terakhir kali kapal tersebut disandarkan ke dermaga. Tetapi para nelayan pastilah bisa mengerti kalau kapal yang dimaksud hanya akan menjadi rumah. Meski setiap hari berada di antara perahu-perahu kecil yang memburu ikan.
Kapal tua milik sang kapten diperkirakan tak bisa dijalankan lagi, karena terlalu lama menganggur serta tak pernah dirawat atau diperbaiki. Benda raksasa itu hanya ditinggali seakan-akan itu rumah dengan menyerap air dermaga sepanjang waktu, embus angin, terik matahari entah berapa dekade, dan, tentu saja, guyuran kencing dan tinja pemiliknya.
Sang kapten memang tak memiliki rumah di desa itu, dan tak ada yang tahu juga di mana dia dulu berasal.
Orang hanya mengerti dia memberikan sesuatu yang banyak dan berarti bagi desa pada masa yang lama berlalu, dan mereka pun menganggapnya bagian dari desa ini tanpa ada persoalan apa-apa.
Sejak awal, kabarnya sang kapten kapal tak pernah menikah, sehingga hidupnya di sekitar dermaga dan desa sebagian diisi oleh wanita-wanita yang patah hati olehnya, dan hanya sebatas itu. Tak ada bayi, tak ada janji pernikahan, tak ada urusan atau perkara apa pun yang perlu disesali, kecuali waktu yang terus berputar.