Cegah Kekerasan dengan Membangun Harga Diri Anak
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Relasi kuasa ini merupakan suatu proyeksi antara yang dominan dan tidak dominan. Dan ini bisa orang tua, kakek atau nenek, kakak maupun paman dari si anak. Dan dalam lingkungan permainan, relasi kuasa ini akan muncul pada kasus anak yang memiliki peran dominan dibandingkan anak yang lain,” urai Sitti.
Untuk menyelesaikan masalah relasi kuasa ini, Sitti menyatakan bahwa satu-satunya cara adalah dengan menunjukkan pada anak bahwa dirinya bukanlah minoritas. Dan hal ini bukanlah hal yang dapat dilakukan dengan mudah.
“Proses edukasi pada anak untuk membangkitkan kesadaran bahwa dirinya bukanlah minoritas ini tidak mudah. Membutuhkan dukungan dari pihak keluarga. Yang membuat tidak mudah apabila pihak keluarga tidak menciptakan suatu lingkungan yang mendukung pola pemikiran yang ingin kita sampaikan ini,” ucap Sitti.
Ia pun menyatakan bahwa kondisi kemiskinan, baik secara fakta maupun kiasan, juga memiliki peran dalam menciptakan lingkungan yang membangun kesadaran diri pada anak bahwa dirinya bukanlah minoritas.
“Kalau kita ingat pada tulisan Robert Kiyosaki, yang membedakan bagaimana pola dan kehidupan orang tua akan mempengaruhi pola pengasuhan pada anak, maka itulah yang terjadi di lapangan. Kita akan melihat perbedaan pola pengasuhan antara seorang bapak yang kaya, akan berbeda dengan bapak yang miskin. Kaya disini bukan selalu berarti harta ya. Tapi juga kaya akan pemikiran. Aplikasinya akan jauh berbeda,” ucap Sitti lebih lanjut.
Terkait hal inilah, Sitti menegaskan, perlu sinergi semua pihak untuk membangun suatu sistem preventif untuk mencegah potensi kekerasan pada anak sejak awal. Melalui proses membangun harga diri anak atau dignity.