Jantung Batu

CERPEN RISDA NUR WIDIA

Aku yang menyadarinya lekas bergidik. Batu itu terus berdenyut mengikuti alunan lagu. Batu itu merespon layaknya seorang manusia yang menikmati suatu hal. Sampai musik yang aku putar berhenti, batu itu secara bersamaan ikut berhenti berdenyut…
***
USAI berdenyut cukup lama, batu itu tidak lagi menunjukkan kehidupannya. Waktu aku mengulang lagu yang kuputar sebelumnya, batu itu sama sekali tidak merespon. Aku berpikir: batu ini seolah memiliki kesan layaknya manusia.

Mungkin apa yang terjadi pada batu ini sama seperti diriku dahulu ketika pertama mendengar Sinfonietta karya Janacek. Dahulu saat pertama mendengarnya, tubuh dan kakiku bergerak seakan mengikuti irama lagu.

Namun kini sensasi itu hilang. Aku tidak mengalami nuansa keterkaguman seperti awal mendengarkannya. Aku hanya merasa ingin mendengarnya saja untuk mengisi ruang kosong di hati.

Karena beberapa kejadian sebelumnya, aku mengamati batu itu sepanjang malam. Rasa lelah yang aku rasakan sama sekali tidak terasa. Pikiranku hanya terpusat pada batu itu. Aku mencoba merangsangnya seperti tadi. Batu itu tetap diam.

Aku kembali meletakkan tubuhku di punggung kursi. Aku menerawang ke langit-langit ruangan, dan pikiranku melayang-layang: batu jenis apa sebenarnya ini? Apakah batu ini memiliki kekuatan gaib? Mengapa batu ini bisa berdenyut?

Pertanyaan-pertanyaan itu padat menyesaki kepalaku. Hingga aku akhirnya menyerah memikirkannya. Aku merebahkan diri tanpa mematikan lampu di atas meja. Aku mengamati batu itu sambil berbaring.

Tapi tak ada respon dari batu itu lagi. Aku pun mengerling ke arah jam. Waktu telah menunjukkan pukul tiga. Aku harus istirahat, batinku. Demikianlah. Hidup seorang diri tanpa kekasih atau istri, memang harus membuatku sadar diri.

Lihat juga...