Mat Colak maju selangkah. “Aku harap kau sudah mempersiapkan diri,” katanya dengan suara berat bernada menindas. “Aku tak akan berbelas kasihan. Kau sudah menetapkan hari kematianmu sendiri.”
Lelaki tua itu diam saja, namun dia sudah waspada sejak semula. Bukan saja karena dia tak lagi merasa takut, tetapi dia tahu bahwa di balik gerumbul belukar sana sudah menunggu lebih dari selusin orang yang siap membantunya.
Hal ini tak disadari oleh Mat Colak. Lelaki setengah baya itu tak menduga jika ada banyak orang yang bersiap menyambut serangannya. Tak hanya Dungkinang saja.
Mat Colak menggeleng sambil berdeham berkali-kali. Dia merasa yakin Dungkinang akan mati. Di lapangan luas itu, tak ada yang bisa menolongnya. Dia menimbang-nimbang, bagian mana dari tubuh Dungkinang yang akan dihantamnya lebih dahulu dengan tongkat kayu saga di tangannya.
“Seranglah aku lebih dahulu,” seru Mat Colak sambil memutar-mutar tongkatnya. Dia memandangi Dungkinang dengan tatapan menghina, “Pilih tempat yang paling empuk untuk menyarangkan parang burukmu itu, Lelaki Tua.”
Senyum membersit di bibir Dungkinang. Tampak culas dan keji. Lelaki tua itu mengangkat tangannya ke udara dan bersamaan dengan itu gerombolan orang-orang berbondong-bondong keluar dari balik gerumbul belukar.
Mereka semua membawa bekal berbagai jenis senjata tajam; tombak, pedang, dan klewang. Orang-orang itu tak lain adalah Amin, Boneh, Hambali, Wak Subhan dan beberapa lelaki yang biasa berdagang di pasar Lumpay.
Sesuai kesepakatan yang mereka rembukkan tadi siang, malam itu Dungkinang mesti diselamatkan.
Mereka tak peduli meski cerita-cerita perihal Mat Colak yang berkembang selama ini begitu menakutkan.