Sedangkan Boneh terlihat masih enggan menerimanya. Bagaimanapun, dia menganggap bahwa kesalahan lelaki tua itu tak perlu ditanggung bersama-sama.
“Terserah kalau kalian mau menolongnya. Aku tak akan ikut. Dia yang cari perkara, kenapa pula aku yang mesti menanggungnya,” sungut Boneh sambil mengebut lalat yang hinggap di atas semangka.
“Jangan begitu,” ucap Amin bernada gamang. “Mat Colak itu masalah kita semua. Sudah seharusnya kita menyelesaikannya bersama pula.”
“Kau benar,” celetuk Wak Burhan. Pedagang sayuran yang juga sering menjadi bulan-bulan Mat Colak itu angkat suara. “Tak perlu kita berdebat panjang lebar. Sekarang, yang perlu kita pikirkan adalah cara menolong Dungkinang lepas dari jerat celaka yang akan membunuhnya nanti malam.”
Perkataan Wak Subhan akhirnya memungkasi perdebatan antara Amin, Boneh, dan Hambali. Kemudian bagai dituntun kesadaran yang sama, saat itu juga mereka bersepakat untuk menyusun siasat melawan Mat Colak.
Usai lapak-lapak ditutup, Amin dan Hambali mendatangi Dungkinang. Keduanya menyampaikan sebuah rencana dan menerakan pada lelaki tua itu bagaimana cara membungkam Mat Colak selama-lamanya.
***
DUNGKINANG berdiri tenang dengan sebilah parang tergenggam di tangan. Dia usap permukaan parang itu dengan telapak tangan, seakan tak ingin ragu bahwa senjata itu memang tajam.
Mata lelaki tua itu menyorot ke depan, menyambut kedatangan sesosok bayangan tinggi besar yang berjalan cepat ke arahnya sambil menyeret sebatang tongkat panjang.
Mat Colak, lelaki yang ditunggu itu telah berdiri di hadapan Dungkinang. Jarak keduanya hanya beberapa depa saja. Malam belum sepenuhnya sampai di pertengahannya, namun dingin sudah mencucuk sampai ke tulang. Kabut putih melayang-layang sejengkal di atas rumput. Membalut kedua pasang kaki yang tak bisa diduga mana yang akan tumbang lebih dahulu.