PENGHUJUNG bulan haji itu Umak meneleponku, menyampaikan kabar jika Hambali hendak menikah dengan Rosidah.
Aku diminta pulang barang sehari-dua hari, agar bisa mendampingi Ebak menyiapkan segala sesuatunya. Tetapi kabar itu tak serta-merta membuatku gembira. Alih-alih gembira, justru kekhawatiran membiak di kepala.
Pernikahan bukan perkara mudah di kampung kami. Ada banyak aral yang mesti dilalui, salah satunya adat ngaruh rasan. Sebelum ijab kabul dilangsungkan, keluarga mempelai laki-laki mesti mengabulkan segala pinta keluarga mempelai perempuan.
Jika tak sanggup, jangan harap pesta pernikahan terlaksana. Tidak jarang adat itu menjadi pelerai cinta gadis dan bujang. Jika tak ada saling pengertian di kedua belah pihak calon besan, maka pesta pernikahan tak akan bisa dilangsungkan.
Sepanjang perjalanan, pikiran itu mengusikku. Aku salah satu korban adat itu. Karena itulah aku tak mau Hambali bernasib sama sepertiku. Dan untuk sekali ini, pada rencana pernikahan Hambali, aku telah mematri janji, akan kutentang adat itu. Adat yang menjerat leher kaum lelaki di kampung kami.
***
KETIKA fajar masih terang-terang tanah, biasanya Hambali sudah pergi menyadap getah karet di kebun milik Ebak di Bukit Guntung.
Ia akan pulang sebelum waktu salat Zuhur. Tetapi pagi itu, suasana rumah ini sedikit berbeda. Aku melihat adik bungsuku itu melamun di beranda. Aku enggan menyapanya, tersebab mafhum, mungkin lantaran pagi ini adalah pagi yang penting baginya. Kotak masa depannya akan dibuka.
Seminggu yang lalu Ebak dan kerabat kami sudah ngaruh rasan. Mereka mendatangi keluarga Rosidah untuk mengajukan pinangan serta niatan menyunting gadis itu untuk Hambali.