Sungguh tak disangka, apa yang disampaikannya membuat kami kecewa. Keluarga Rosidah mematok mahar di luar batas kesanggupan yang kami bisa.
“Apa salahnya jika kita menawar mahar yang dipinta, ucapku memecah keheningan yang bergulir di ruangan itu dan menyebarkan rasa tak nyaman.
“Bukankah ini demi kebaikan dua keluarga juga?
“Aku tak mengira kalau lama hidup di kota membuat kau berubah, Badar, sindir Pacik Zainuri. “Kau pikir kami sedang menjual anak domba, hingga bisa kau tawar seenaknya?”
Dengan ekor mata, kutangkap senyum sinis di bibir Mang Salim. “Ini aturan adat yang tak boleh dilanggar, ujar lelaki setengah baya itu santai. “Jika tak sanggup memenuhinya, batalkan saja.”
Aku ingin membantah, tapi Ebak memandang tajam, seakan memberi isyarat agar aku diam. Tidak ada kemarahan di dalam sorot matanya, lebih ke penyesalan mendapati anak sulungnya menjelma menjadi pembangkang.
“Saat ini kami belum bisa memberikan jawaban,” kata Ebak pelan. “Beri kami waktu tiga hari di muka. Jawabannya akan segera Pacik terima.”
Demikianlah akhirnya, sampai Pak Zainuri dan Mang Salim pergi, tak ada kata sepakat yang kami capai. Mahar yang diajukan keluarga Rosidah, tak sanggup kami kabulkan. Dengan sisa-sisa rasa kesal di dada, aku coba menyampaikan pendirianku kepada Ebak.
“Apa yang salah dari saranku tadi? tanyaku sambil memandangi wajah Ebak lekat-lekat. Jika permintaan itu bisa diubah, kita bisa menikahkan Hambali dan Rosidah.”
“Apa kau sudah gila, Badar?” sentak Ebak. “Kau dengar sendiri omongan mereka tadi. Adat itu tak mungkin diingkari!”
“Tolong, Bak. Pikirkanlah. Aku tak ingin Hambali merasakan perasaanku dulu,” sahutku bersikeras. “Ebak tahu mengapa aku masih melajang sampai tua begini? Adat itu penyebabnya.”