“Malam nanti, biar aku yang mendatangi orang tuanya. Akan kusampaikan kalau…”
“Tak usah, Bang,” ucap Hambali menetak omonganku. “Memang aku yang salah. Mungkin aku tak berjodoh dengan Rosidah.”
Aku memandang wajah adikku dengan perasaan hancur. Sorot matanya kehilangan cahaya. Andai bisa dibuat lebih mudah, aku yakin pernikahannya bisa berjalan dengan bahagia.
Penghasilannya dari menyadap getah karet itu, kurasa cukup untuk membiayai hidup mereka. Tapi apabila mahar yang dipinta adalah emas dan uang berjuta-juta, mana mungkin keluarga kami sanggup mengabulkannya.
Sementara aku cuma pegawai rendahan, sungguh tak mampu jika diminta untuk meringankan beban keluarga.
Esok paginya, dengan segenap berat hati, aku pamit pada Ebak, Umak, dan Hambali. Kepada mereka tetap kusampaikan, bagaimanapun caranya, akan kucari cara agar pernikahan itu terlaksana.
Tetapi, baru satu hari tiba di Jakarta, kabar buruk itu kuterima. Dengan terisak, Umak mengatakan bahwa keluarga besar Rosidah menolak pinangan Hambali.
Pernikahan mereka dibatalkan. Seharian itu adikku tak banyak bicara. Ia mulanya pamit menyadap getah karet seperti biasa, namun setelah berjam-jam, ia tak kunjung pulang.
Ebak menyusulnya dan menemukan adik kesayanganku, lelaki muda yang patah hati itu, sudah tergantung di dahan pohon karet tua. Ia menebus malu dengan nyawanya.
***
HUJAN sehalus kapas tak menyurutkan langkah para pembawa keranda menuju lahan pemakaman. Tangis dan ratap pilu bersitingkah dengan bunyi guruh di kejauhan, merayau bersama desau angin, melintasi kebun karet yang sunyi di lereng Bukit Mategelung.
Di belakang barisan pemanggul keranda, aku tak mengira akan melihat sosok Pacik Zainuri. Ingin rasanya kuusir lelaki tua itu dari barisan para pelayat.