Ngaruh Rasan

CERPEN ADAM YUDHISTIRA

Umak menatapku dengan sorot mata memohon, seolah meminta agar aku tak meneruskan kata-kata. Tapi hatiku sudah kadung luka. Sepuluh tahun yang lalu aku gagal menikahi Maryamah, gadis yang begitu kucinta. Sampai kini rasa sakitnya masih terasa.

Sebenarnya, jauh di lubuk hati, aku senang tinggal di kampung ini daripada hidup merantau di Jakarta. Namun ada sesuatu yang memaksaku pergi: luka yang tercipta dari adat istiadat di kampung ini. Rasa malu yang tak tertanggungkan, membuatku benci kampung sendiri.

Aku tak ingin Hambali merasakan kebencian dan kekecewaan itu. Maka, sebisa-bisanya akan kubela rasa cintanya kepada gadis itu. Tak peduli meskipun aku akan dibenci oleh penduduk kampung ini.

“Jika adat itu tak bisa diubah, kami para jejaka mungkin tak akan pernah menikah sampai tua!” sentakku sambil berdiri dan mencoba menggugat.

“Para gadis pun akan menjadi perawan tua, tersebab tak ada lelaki yang sudi meminang mereka!”

Ebak mendengus dan membuang muka ke jendela. Umak menggeleng dengan pipi berurai air mata. Hambali menunduk dalam-dalam.

Aku memang lega usai mengucapkan kalimat itu, namun kesakitan yang kusembunyikan, sesuatu yang kututupi, luka yang bertahun-tahun berusaha kusembuhi, akhirnya terkoyak lagi.

“Tak mengapa, Bang. Tak perlu dipaksakan,” ucap Hambali tiba-tiba seraya memegang lenganku.

“Pernikahanku dengan Rosidah dibatalkan saja.”

“Tapi kau akan ditimpa malu, Adikku!” sahutku emosi. “Seperti aku dulu.”

“Sungguh, Bang. Tak mengapa,” ucap Hambali dengan bibir memucat dan gemetar. “Aku bisa menerimanya.”

Aku tahu adikku sedang berdusta. Di matanya, aku melihat ngarai kecewa. Aku tahu bukan itu yang diinginkannya. Hambali mencintai Rosidah. Andai pernikahan ini gagal terlaksana, tak terbayang betapa hancur perasaannya.

Lihat juga...