Kehadirannya hanya membuat kesedihan di hati kami berlarat-larat. Suka tak suka, lelaki tua itulah yang menjadi muara duka yang kami rasa. Hati batunya menyebabkan luka di dada kami semua.
Selesai liang kubur diuruk dan doa-doa dipanjatkan, para pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Aku berjalan paling belakang, tepat di belakang Pacik Zainuri.
Di hadapan beberapa warga yang turut mengantar adikku ke peristirahatannya, lelaki tua itu terus mengulang cerita yang sama.
Aku berjuang meredam api yang membakar rongga dada. Namun lisan lelaki tua itu semakin lama semakin berbisa.
Tanpa rasa iba, ditudingnya Hambali sebagai lelaki tak tahu diri, yang menaruh cinta pada perempuan lebih tinggi.
Api dendam melahap habis kesabaran dan akal sehatku. Mataku bersitumbuk dengan seonggok kayu. Kayu itu kuayunkan ke kepalanya berulangkali.
Jerit ngeri para pelayat tak mampu menghentikan ayunan tanganku. Ketika itu, entah kenapa, di mataku Pacik Zainuri telah menjelma seekor babi. ***
Catatan:
Ngaruh rasan: negosiasi kedua belah pihak keluarga calon mempelai tentang kisaran besar mahar pernikahan. Adat ini masih dipakai di sebagian desa di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Cugur: tetua adat.
Ebak: Ayah.
Umak: Ibu.
Adam Yudhistira, lahir pada 1985. Saat ini bermukim di Muara Enim, Sumatera Selatan. Cerita pendek, cerita anak, esai, puisi dan ulasan buku yang ditulisnya telah tersiar di berbagai media massa cetak dan daring di Tanah Air. Selain bersastra, ia juga berbahagia mengelola sebuah Taman Baca di kampungnya. Buku kumpulan cerpennya Ocehan Semut Merah dan Bangkai Seekor Tawon (Basabasi, 2017).