Ngaruh Rasan

CERPEN ADAM YUDHISTIRA

Sirih pinang bersusun di dalam nampan, wajik dan juadah sudah dihantarkan. Kini tinggal menanti jawaban dari pihak calon mempelai perempuan.

Ebak sudah berdandan rapi dan duduk di ruang tamu. Umak sedang menjerang air di dapur. Gemericik minyak panas menyambut satu per satu irisan pisang yang disulurkannya ke dalam wajan.

Aku duduk di kursi makan, tak jauh dari Umak, membantunya mempersiapkan hidangan perjamuan untuk tamu istimewa yang sebentar lagi akan datang.

Tamu istimewa itu adalah Pacik Zainuri, cugur kampung kami. Sebagai cugur, Pacik Zainuri bertugas menjadi penyambung lidah keluarga calon mempelai perempuan.

Lelaki tua itulah yang akan menyenaraikan jumlah mahar perkawinan yang wajib dipenuhi calon mempelai laki-laki.

Selama menunggu kedatangan tamu istimewa ini, kami lebih banyak diam. Perasaan kami dicekam was-was yang begitu tebal.

Apa yang nanti disampaikan Pacik Zainuri bisa jadi ladang pertaruhan martabat dan harga diri. Kupandangi wajah Ebak, Umak, dan Hambali berganti-ganti. Raut mereka sedikit tegang dan gundah.

Saat matahari naik sepenggalah, terdengar dua suara mengucap uluk salam di beranda. Pacik Zainuri rupanya sudah datang. Lelaki tua itu datang bersama Mang Salim, paman Rosidah. Kami menyambut kedatangan mereka dengan senyum paling ramah.

Umak dengan cekatan menyajikan penganan kecil sebagai jamuan, lalu duduk di samping Ebak. Aku dan Hambali duduk berdampingan, bersiap mendengar kabar yang akan diterakan.

Lantas dengan penuh ketakziman, Pacik Zainuri menyenaraikan jawaban keluarga besar Rosidah. Setelah usai lelaki tua itu menuntaskan kata-katanya, kami semua terdiam.

Lihat juga...