Mat Colak

CERPEN ADAM YUDHISTIRA

Namun, entah lantaran sudah jemu atau pendapatan kedainya yang sedang sepi, siang itu Dungkinang menolak permintaannya dan dengan berani memperingatkannya agar jangan pernah datang lagi.

“Hasil kedaiku ini tak seberapa, janganlah kau minta pula,” ucapnya dengan nada menyindir sinis. “Apa tak bisa kau gunakan badan besarmu itu untuk bekerja sewajarnya?”

Mendengar pertanyaan tajam itu, Mat Colak mendengus. Mukanya merah bagai ketam direbus. Dengan isyarat tangan dan pandangan mata mengancam, lelaki itu mengusir semua pengunjung kedai dan membuat mereka berhamburan tunggang-langgang.

Mat Colak menepuk meja dan jari telunjuknya menuding lurus ke muka Dungkinang. “Kalau kau tak mau membayarku, jangan harap kau bakal tenang berjualan di sini. Di pasar ini akulah hukumnya. Akulah yang berkuasa.”

“Tapi di kedai ini akulah rajanya,” sahut Dungkinang tak mau kalah. “Jika kau kira aku takut padamu. Kau salah, Mat Colak. Mulai hari ini secuil pun tak akan kuberi apa yang kau pinta.”

Mat Colak terbahak-bahak. “Dasar tua bangka tak tahu diri,” makinya geram, “Kupatahkan batang lehermu baru kau tahu rasa.”

“Coba saja kalau bisa,” jawab Dungkinang menyeringai dan mengangkat dagunya. Dengan nada dingin dan tak main-main, dia berkata, “Kutunggu kau di lapangan Lubuk Kisam nanti malam. Kalau kau betulan jantan, jangan tak datang.”

Mat Colak kian terbahak mendengar lelaki tua di depannya itu menantangnya, lantas dengan gaya pongah dia berkata, “Baiklah. Kau sendiri yang menggali lubang kuburmu. Jangan salahkan aku kalau kau mati malam ini,” sahutnya kemudian berlalu.

Peristiwa itu pun menyebar ke sepenjuru pasar Lumpay. Beberapa dari para pedagang memuji nyali Dungkinang, namun sebagian lagi menyesalkannya. Mereka menganggap keputusannya menantang Mat Colak adalah keputusan bodoh dan hanya mengantar nyawa semata-mata.

Lihat juga...