“Aku mendengar sendiri Dungkinang menantangnya,” ucap Boneh, pedagang buah yang lapaknya bersebelahan dengan kedai Dungkinang. “Sulit kupercaya. Kalau ingin lekas mati, tak perlu pula sampai mengumpankan diri ke mulut buaya.”
“Aku juga,” sambung Hambali dengan wajah cemas. Pedagang pecah belah itu berdecak-decak. “Senyum di wajahnya tadi seakan menyiratkan bahwa dia telah mempersiapkan diri untuk dihabisi Mat Colak malam ini.”
“Kupikir lelaki tua itu sudah gila,” tukas Boneh cepat, matanya mendelik sangsi. “Dia tak seharusnya meladeni Mat Colak. Buat apa? Dia bisa mati konyol dibantainya.”
Hambali mengangguk mendukung pernyataan Boneh. “Lagi pula kita tahu, tak mungkin Dungkinang beradu tenaga dengan Mat Colak. Beliau sudah tua.”
“Betul itu,” sahut Amin tiba-tiba. Pedagang ikan itu mengangguk, mengisyaratkan dukungan pada Boneh dan Hambali. “Tak mungkin Dungkinang mampu mengalahkan Mat Colak. Kecuali satu…”
“Kecuali apa?” potong Boneh cepat. Keningnya mengerut. “Adakah cara untuk mengalahkannya?”
Amin melihat ke kiri dan ke kanan, seolah berharap betul perkataannya didengarkan banyak orang. Setengah takut-takut, dia menyambung ucapannya, “Kecuali kalau kita semua membantunya.”
Hambali dan Boneh terdiam. Masing-masing dari mereka merasa enggan berurusan dengan Mat Colak. Pikir mereka, apabila binatang buas itu masih bisa dijinakkan dengan sedikit makanan, kenapa pula mesti keluar tenaga.
Namun bagaimanapun juga, sebagai sesama pedagang, hati mereka tak bisa membiarkan Dungkinang menanggung kesulitan itu sendirian.
Untuk beberapa saat terjadi perdebatan di antara mereka, menyoal saran yang disorongkan Amin. Hambali setuju dengan saran itu, menurutnya memang sudah seharusnya mereka menolong Dungkinang, sebab Mat Colak adalah masalah mereka semua.