Pengakuan

CERPEN POLANCO S. ACHRI

Mendengar itu semua, aku hanya terdiam. Terpukau.

“Kenapa mereka disimbolkan dengan ular?”

“Ah, sudah aku duga. Kau akan sangat tertarik,” balasnya. “Aku sendiri tak tahu pasti. Tapi aku pernah mendengar, bahwa mereka memiliki bisa dalam rangkaian kata.”

“Kata? Apakah seperti sabda?” tanyaku, dan Kha mengangguk sambil tersenyum.  “Lalu seperti apa ciri mereka, Kha? Apa yang membuatku bisa mengenali mereka?”

“Aku yakin kau pasti bisa mengenali mereka.”

Sejak saat itu aku sudah tak melihat Kha lagi. Aku selalu berharap semoga dia bahagia. Walau bahagia sendiri aku tidak tahu artinya apa, aku hanya mendengar ucapan itu dari manusia yang sepintas lalu.

Akhirnya, kini aku menjadi penunggu. Aku dengar, manusia tidak banyak yang suka menunggu. Tapi aku ini ular, jadi menunggu adalah persoalan yang biasa. Namun, apa yang aku tunggu adalah penyair, dan aku tidaklah tahu penyair itu seperti apa. Kha bilang, mereka disimbolkan seperti ular.

Ah, manusia memang makhluk yang suka menyimbolkan, dan dalam hal ini aku iri pada mereka. Berarti, penyair memiliki kemiripan dengan aku. Aha! Aku hanya perlu menemukan manusia yang serupa aku.

Hari itu, aku bertemu dengan pemuda itu. Biasanya aku melihat pemuda yang berjalan bersama-sama: entah dengan kekasih, kawan, keluarga, atau siapa pun. Namun tidak dengan pemuda itu. Aku sama sekali tidak menemukan apa-apa selain kesunyian dan kesendirian yang sangat membuatku tertarik.

Wajah dan perangai dirinya sangat biasa, benar-benar biasa. Ah, barangkali sebab biasa itu pulalah yang membuatku terbawa olehnya.

Pemuda itu mendekatkan wajahnya, lalu berkata, “Engkau adalah ular. Namun, nyatanya, aku mengagumimu sebagai diriku yang terkurung dalam akuarium. Menunggu sesuatu yang aku sendiri tak tahu, dan untuk alasan apa aku menunggu. Hidup adalah pertanyaan dan jawaban yang begitu samar. Namun kau dan aku adalah satu. Bukan begitu?”

Lihat juga...