Sudah tiga hari ini ia berbohong kepada istrinya, pamit berangkat ke tempat kerjanya, sebuah pos parkir Taman Raden Saleh. Dan, entah berapa kali lagi ia mesti berbohong kepada istrinya. Berbohong jika ia masih bekerja sebagai penjaga karcis parkir di pos yang kini tak berpenghuni itu.
Seharusnya, hari ini ia pulang membawa amplop gaji. Tapi, tak ada lagi amplop yang diterimanya. Ia bingung, bagaimana nanti di rumah jika istrinya menanyakan soal uang belanja, dan uang untuk membelikan mobil-mobilan remote control untuk anak mereka.
Ia pulang dengan langkah gontai. Membuang rokoknya yang sudah habis. Hatinya disayat sembilu dan rasa bersalah. Tapi, takdir tak bisa dielak. Semua sudah kehendak Yang Maha Esa.
Ia berjakan melintasi rumah tetangganya yang masih menyetel lagu dangdut, sembari bersenandung sendiri.
“Biasanya tak pakai minyak rambut. Biasanya tak seperti itu. Saya gelisah, tak enak hati. Takutnya ada cinta yang lain. Solali lali, ola ola la….”
“Pulang, Mas. Gajian nih ye,” tegur tetangganya yang bertelanjang dada dari teras rumahnya.
Ia tak membalas teguran tetangganya itu. Kakinya masih melangkah. Ia masuk ke rumah tanpa salam. Menyingkap tirai pintu kamarnya. Ia mendapati istrinya berdoa sehabis sembahyang Isya.
“Ya Allah, berikanlah keluarga hamba rezeki yang berlimpah.”
Lantas, ia keluar kamar setelah melepaskan kemeja kumalnya. Mengambil handuk dari atas dipan. Menuju kamar mandi. Anaknya sudah tak merajuk. Dengan mata kepalanya sendiri, ia mendapati anaknya sedang bermain mobil-mobilan yang terbuat dari segepok karcis parkir.
Ia menangis. Terisak. ***
Palmerah Barat, Jakarta.