Anak-anak para penjaja tisu masih menawari tisu yang dijinjingnya di atas keranjang kepada para pengunjung warung makan.
Lalu, keheningan pun pecah.
“Yasin, kita mau adakan perubahan soal parkir,” kata Pak Nanang mengawali pembicaraan.
“Soal apa, Pak?”
Ada jeda ketika ia melepaskan kalimat itu. Terbit senyum kecil di bibir Pak Nanang. Ia menghela napas panjang. Panjang sekali.
“Saya nggak bisa berbuat apa-apa. Ini sudah perintah dari atasan. Kami akan membuat mesin parkir otomatis. Jadi, kamu akan dirumahkan. Hari ini kamu terakhir. Sebab esok, segalanya dikerjakan mesin otomatis buatan Jepang itu. Kami hanya membutuhkan satu petugas karcis saja di gerbang keluar.”
Tentu saja penjelasan itu membuat hatinya gusar. Ia kembali menarik napas sangat panjang. Sebatang rokok ia keluarkan dari saku seragamnya. Sekadar untuk meredakan perasaannya yang kalut. Lalu ia sulut. Kecut. Satu per satu kancing seragamnya ia buka.
Kemudian, ia serahkan kepada Pak Nanang yang duduk persis di hadapannya, tanpa berkata apa-apa lagi. Pak Nanang hanya tersenyum kecil. Seperti tak ada dosa yang hinggap di hatinya.
Hujan runtuh dari langit. Hentakan halilintar seakan menggambarkan suasana hatinya.
Ada pesan pendek yang hinggap di telepon selulernya. Ia membuka, dan membaca. Dari istrinya di rumah.
“Sayang, nanti pulang kerja belikan Anto mobil-mobilan remote control ya. Kasihan dari kemarin dia merengek minta dibelikan.”
Ia tak menjawab pesan pendek dari istrinya. Ponsel ia matikan. Hendak ia banting.
Sebenarnya, ia sudah curiga sejak seminggu lalu, ketika mesin parkir berbentuk kotak itu dibawa menggunakan mobil pick up. Lantas, keesokan harinya, mesin tersebut dipacak persis di depan pos parkir yang biasa ia jaga.