Pos Parkir

CERPEN FANDY HUTARI

Sehari sebelum Pak Nanang memutuskan kontrak kerjanya, ia menyaksikan mesin itu bisa berbicara.

“Selamat datang. Silakan ambil struk parkir Anda. Terima kasih,” lantas plang terbuka. Saat itu, mesin tersebut masih dicoba oleh dua orang teknisi.

Tak disangka, petaka itu pun terjadi. Ia dipecat, dan hari-harinya akan diisi oleh kegusaran hati untuk menafkahi keluarganya di rumah. Menganggur. Meninggalkan pos parkir yang sudah dijaganya sejak lima tahun silam.

Kekuasaan teknologi tak bisa dilawan. Arus zaman sudah berubah. Manusia digantikan mesin. Kenyataan itu sudah ia dapati di beberapa pusat perbelanjaan. Mereka lebih memilih kerja mesin dibandingkan manusia yang harus menggaji setiap bulan.
***
MALAM merambat dengan cepat. Para pedagang kaki lima sudah berjejer di pinggiran jalan, depan komplek Taman Raden Saleh. Ia masih duduk termenung di tangga pelataran Taman Raden Saleh. Mendapati anak-anak penjual tisu, yang mengiba minta dibeli.

“Pak, tisunya Pak…” ujar salah seorang anak penjaja tisu, yang kurus dan kucal.

Ia meninggalkan mereka, setelah menolak membeli tisu. Lalu berjalan ke arah pos parkir yang kini kosong melompong. Sebuah sepeda motor berhenti persis di sebelah mesin parkir otomatis itu. Pengendaranya menekan tombol berwarna hijau.

“Selamat datang. Silakan ambil struk parkir Anda. Terima kasih.”

Plang terbuka. Sepeda motor itu pun melaju ke dalam komplek Taman Raden Saleh. Ia berjalan menghampiri mesin kotak berwarna biru itu. Langkahnya gontai.

“Mesin sialan!” hardiknya.

Kakinya lantas menendang mesin tersebut. Ia berjingkrak-jingkrak kesakitan, sembari memegangi kaki kanannya. Setelah puas sumpah serapah, ia bergegas pulang.

Lihat juga...