Pos Parkir

CERPEN FANDY HUTARI

Ia selalu sibuk luar biasa jika akhir pekan tiba. Biasanya, di pusat kebudayaan itu berlangsung pameran seni rupa atau pertunjukan teater. Hiruk pikuk kendaraan selalu ia ladeni. Menerima uang parkir, dan memberikan karcis kepada para pengunjung yang datang.

Beberapa orang ada pula yang ngeluyur masuk tanpa membayar. Tapi, ia tak pernah menegurnya. Ribuan wajah sudah ia pernah sapa di sini. Wajah-wajah yang berlalu begitu saja, hanya membayar dan menerima kertas karcis.

Di pos parkir itu, ia bekerja selama delapan jam dengan sistem shift. Duduk di sebuah kursi kayu yang sudah reot. Tak terasa, sudah lima tahun profesi ini ia jalani, dengan upah yang cukup untuk membeli beras dua kepala di rumahnya.

Terkadang, ia membeli mainan untuk Anto, anak semata wayangnya yang ia doakan menjadi Gubernur DKI Jakarta suatu saat nanti.

Namun, tiga hari lalu, segalanya berubah. Pak Nanang tiba-tiba datang menghampirinya siang itu.

“Yasin, bisa kita bicara sebentar?” kata Pak Nanang.

Pria berkepala plontos itu adalah koordinator parkir yang mengurus segala uang retribusi dan sistem kerja para pekerja parkir di komplek Taman Raden Saleh. Biasanya, Pak Nanang menghampirinya jika hari gajian tiba, setiap akhir bulan.

Ia tercenung.

Pak Nanang mengajaknya bicara di sebuah warung makan sederhana di dalam kompleks Taman Raden Saleh. Ia masih membisu. Di dalam kepalanya berkecamuk segala pertanyaan. Apa sebab Pak Nanang mengajaknya berbicara, padahal itu bukan hari saat dirinya menerima gaji. Tak biasa.

Matanya memandang sekeliling. Orang-orang di warung makan itu saling tak acuh. Mereka asyik memendamkan diri masing-masing ke dalam gawai di tangan. Ada beberapa yang berdiskusi. Ada pula yang menyantap makanan dengan lahap.

Lihat juga...