“Ocean Grabbing” Ancam Kedaulatan Pangan
Oleh: Muhamad Karim, Dosen Agribisnis Universitas Trilogi/ Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
(ii) pembangunan enclave buat wisata bahari (hotel, resort dan cottage) yang membatasi akses penduduk lokal (masyaraat adat) di kawasan itu;
(iii) penyewaan kawasan hutan mangrove oleh publik/masyarakat kepada pemodal swasta/pribadi untuk proyek penyerapan karbon, pertambakan udang dan memproduksi arang;
(iv) pengambilalihan lahan milik pribadi atau komunal (masyarakat adat) di wilayah pesisir dan laut oleh korporasi atau individu, dan
(v) pembelian atau penyewaan secara pribadi terhadap ruang laut, pesisir dan pulau kecil yang mengakibatkan akumulasi kapital serta meminggirkan pemangku kepentingan (nelayan) yang sebelumnya eksis di wilayah tersebut.
Kedua, adanya beragam bentuk pemanfaatan ruang laut secara tertutup, yaitu: (i) menciptakan daerah perlindungan laut yang multifungsi, sebagai kawasan konservasi dan ekowisata;
(ii) menutup ruang pesisir dan laut secara perlahan-lahan berkedok impelementasi peraturan lingkungan atau inisiatif pembangunan yang menindas pihak yang memanfaatkan ruang laut sebelumnya. Kasus Reklamasi Teluk Jakarta yang meminggirkan nelayan tradisional adalah fakta empiris); dan (iii) mempercepat penutupan akses ruang laut dan sumber dayanya bagi masyarakat lokal dan adat, lewat penetapan aturan keruangan yang tidak fair. Misalnya, penetapan zonasi perairan laut maupun proses perencanaan spasial yang sepihak, hingga mengabaikan partisipasi masyarakat lokal.
Ketiga, perubahan rezim property right atas sumberdaya mencakup: (i) privatisasi lahan pesisir yang sebelumnya hanya boleh dilakukan lewat mekanisme reforma agraria. Contohnya, industri pertambakan udang komersial dan penguasaan pulau-pulau kecil oleh pihak asing;