“Ocean Grabbing” Ancam Kedaulatan Pangan

Oleh: Muhamad Karim, Dosen Agribisnis Universitas Trilogi/ Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Muhamad Karim Dosen Agribisnis Universitas Trilogi/ Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Jakarta-Foto: Ist

Posisi GFSI tetap menempatkan Indonesia sebagai negara yang harus serius mengurusi pangannya secara nasional. Jika terabaikan, maka ancaman kelaparan, kekurangan gizi dan kemiskinan akan tetap menghantui.

Informasi lain terkait kedaulatan pangan bersumber dari laporan International Food Policy Research Institute (IFPRI). Indeks kelaparan global (Global Hunger Index/GHI) Indonesia pada 2016 berada di peringkat 72 (skor: 21,9) dari 118 negara, dan tidak berubah tetap pada peringkat 72 (skor 22,0) pata 2017, dari 119 negara yang sama dengan peringkat Nepal.

Posisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kategori kelaparan serius (IFPRI, 2016, 2017).

Baik indikator GFSI maupun GHI mengandung makna, bahwa Indonesia rentan terhadap krisis pangan yang berpotensi mengalami ancaman kelaparan. Karena itu, orientasi mewujudkan kedaulatan pangan mestinya tidak hanya bersumber dari tanaman pangan. Melainkan juga bersumber dari sumber daya ikan yaitu: ikan pelagis besar dan kecil, ikan demersal, krustasea, kerang-kerangan hingga rumput laut. Sumber daya ikan ini bisa berbentuk segar, beku hingga olahan dari hasil inovasi produk pangan ikan.

Laporan FAO sejak 2014-2016 memosisikan Indonesia sebagai peringkat kedua negara produsen ikan di bawah China. Sayangnya, semenjak 2014-2016 Indonesia tidak masuk 10 besar negara eksportir ikan. Meski neraca perdagangan ikan pada 2014-2015 surplus, namun nilainya turun dari USD 4,22 miliar menjadi USD 3,56 miliar (KKP, 2016).

Ditambah juga nilai tukar perdagangan komoditas ikan Indonesia  (HS 03: ikan hidup, segar, dan beku) naik dari  115,53 pada 2014 menjadi 125,59 pada 2015.

Lihat juga...