“Ocean Grabbing” Ancam Kedaulatan Pangan
Oleh: Muhamad Karim, Dosen Agribisnis Universitas Trilogi/ Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Impian pemerintahan Presiden Jokowi yang hingga 2019 ingin mewujudkan kedaulatan pangan adalah cita-cita mulia. Tetapi, kian maraknya impor pangan akhir-akhir ini seperti garam, dan beras menunjukkan impian mencapai kedaulatan pangan sulit terwujud. Ditambah masa pemerintahannya tinggal setahun. Mestinya, dalam kurun waktu tiga tahun ini, pemerintah harus sudah mampu mewujudkan produksi pangan lokal yang melimpah dan berkurangnya penduduk yang menderita kelaparan, gizi buruk dan kemiskinan. Hal ini juga sejalan dengan misi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang telah menggulirkan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Setidaknya, dari 17 tujuan SDGs yang relevan dengan kedaulatan pangan, yaitu: (i) mengakhiri segala bentuk kemiskinan; (ii) mengakhiri kelaparan, mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan kualitas gizi serta mempromosikan pertanian berkelanjutan; dan (ii) melestarikan dan memanfaatkan perairan samudera, lautan, dan sumberdayanya secara lestari untuk pembangunan berkelanjutan (UN, 2016).
Semua negara mesti mencapai tujuan SDGs ini hingga 2035.
Merespon hal itu, pemerintah Indonesia menggenjot produksi pangan, terutama padi, jagung dan kedelai untuk mencapai swasembada pangan hingga 2019. Pendek kata, Indonesia bakal jadi negara yang memiliki kedaulatan, ketahanan dan kemandirian pangan, sebagaimana amanat UU No. 18/2012.
Secara empiris, kedaulatan pangan versi pemerintah masih berorientasi beras an sich. Padahal, bangsa ini masih saja mengimpor jenis-jenis pangan lainnya semacam garam, kedelai, tepung ikan hingga beras, meskipun sekarang pemerintah mengklaim mempertimbangkan sumber daya ikan (perikanan tangkap dan budi daya) sebagai sumber pangan yang mengandung protein sehat. Mengapa?