Aku selalu bermimpi hal yang sama tiga malam berturut-turut. Seseorang dengan jubah hitam datang mengetuk pintu kamarku. Dia terus saja mengetuk, dan aku, dalam mimpi itu, tak pernah mau membukakan pintu.”
Kau terus saja bicara, meski aku tak menjawab. Aku hanya diam saja.
“Kau tahu Han, setiap tidur, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan itu sungguh mengganggu, jika tidur dengan posisi wajah menghadap kiri, semua terasa bergoyang. Jika tidur dengan posisi wajah menghadap kanan, jantungku yang terus berdetak hebat. Jika terlentang, cahaya lampu menerpa wajahku dan tak akan bisa tidur sampai pagi. Jika hadap ke bawah, semua terasa gelap dan aku seperti merasakan tubuhku tak bergerak. Aku bingung. Jika memutuskan tak tidur, paginya kepalaku akan pusing hebat.”
Aku diam.
“Kenapa kau diam saja, Han?”
Kali ini kau menatapku. Tatapanmu begitu asing. Seperti orang yang sangat jauh dan baru kutemui. Aku mencoba tersenyum padamu. Kau lagi-lagi bilang, “Kematian, katamu, hanyalah cemas sementara. Selebihnya, tak ada. Tak ada.” Kau meniru puisi Agus Noor kali ini. Tapi beban jelas seperti bergantung di kedua matamu.
“Ujung-ujungnya aku bisa gagal ginjal atau stroke atau gangguan jantung.” Kau menggerutu lagi. Aku masih diam saja. Tak tahu mesti bicara apa kali ini.
“Han, ada hal yang sebenarnya ingin kutanyakan padamu sejak beberapa minggu lalu.”
Kali ini aku tersentak, “Apa yang hendak kau ingin bicarakan?” Aku bicara pelan dan menatapmu.
“Sidang perceraian kita kapan? Aku lupa, apakah tanggal 21 atau tanggal 28? Aku juga lupa, apakah bulan ini atau bulan depan?”
Kau menunduk mengucapkan itu.