“Bisa kau ambilkan amlodipin di laci,” kau kali ini memintaku mengambil obat yang baru pertama kudengar namanya. Aku melangkah pelan, membuka laci, dan mencari-cari. Banyak buku di dalam lacimu, bahkan ada yang masih tersegel, mungkin belum sempat kau baca. Setelah hampir semenit aku mencari, obat itu kutemukan juga. Aku berjalan mendekatimu.
Kau tersenyum dan meminumnya dengan segelas air putih di samping ranjang.
“Kau tahu, obat ini akan membuat segalanya lancar, akan meringankan segala yang kaku di tubuhku.”
Kau bicara seolah kau dokter. Aku tersenyum. Dan kau hanya diam saja.
***
AKU pernah membopong tubuhmu dari parkiran rumah sakit swasta itu. Kau hanya mampu memejamkan mata saat itu. Kau bilang, “Semua bergoyang Han, seperti bumi hendak kiamat, kadang aku merasa di atas, kadang di bawah. Aku sempatkan berdiri pagi itu, goyangannya terasa lebih hebat, aku terjatuh. Badanku tersungkur di lantai. Aku coba duduk, semua lagi-lagi bergoyang.
Hingga aku dibawa ke rumah sakit ini. Dokter bilang, sangat bahaya jika kau berdiri dalam kondisi demikian, kau akan jatuh, dan bisa saja lari ke jantung. Jantung bisa saja berhenti berdenyut. Atau kemungkinan lain tubuhmu akan kaku. Stroke.”
Kau berhenti bicara. Saat hendak kunaikkan badanmu di atas motor, kau berkata, “Pegang aku yang kuat Han, semua masih bergoyang. Jangan lepaskan aku.”
Aku melajukan motor itu begitu pelan, angin lembut membelai wajahku. Kau berpegang erat, tanganmu melingkar di tubuhku. Dan aku tahu, kau pasti masih memejamkan mata.
Sebab, jika kau membukanya, bumi kau lihat seperti bergoyang dan tubuhmu bisa saja tersungkur ke jalan beraspal itu. Hingga sampai di rumah, aku membopongmu ke kamarmu.