Kau, Diabetes, dan Vertigo

CERPEN RIFAT KHAN

AKU tahu, tiga kali dalam sehari kau mesti menyuntikkan jarum pengantar insulin itu ke tubuhmu. Di bagian perutmu, jarum itu akan perlahan masuk, sesaat cairan itu mengaliri darahmu dan kau akan merasa lebih baik.

Kadang kau berikan dosis 6 mili, atau jika gula darahmu lebih sering di atas 200 atau 300, tak jarang kau akan menaikkan dosis jadi 10 bahkan 12 mg. Pada awal-awal pertama, kau merasa takut melakukannya sendiri, lama-kelamaan kau terbiasa. Bahkan sambil kau menonton film kesayanganmu, tanpa melihat bagian perut yang mana kau akan suntik, kau melakukannya dengan sempurna.

“Persis seperti digigit semut” katamu, sambil meringis kecil. Kau perlihatkan lagi jarum kecil itu, jarum yang kadang membuat tanda banyak di kulit perutmu. Lantas kau membuangnya, menggantinya dengan jarum baru dan esok kau akan melakukan hal sama lagi. Tak jarang kau meminum satu biji tablet.

“Sebagai penyeimbang,” sering kau bilang demikian. Tablet metformin itu ada berpuluh-puluh lembar di laci, kadang kau taruh pula di samping buku puisi Joko Pinurbo yang masih terbuka. Sering pula tak pernah habis, bahkan sampai jadwalmu harus konsultasi kembali. Dokter akan memberimu tablet yang sama. Tablet yang lama akan kau masukkan ke bak sampah dengan terpaksa.

“Tubuhku sering terasa lemah, dan ada kalanya bahkan untuk menyelesaikan satu cerita saja kepalaku dilanda pusing yang hebat. Kadang aku langsung berbaring, dan cerita-cerita itu terbengkalai. Esoknya aku lupa lagi mesti melanjutkannya bagaimana,” kau berucap pelan sambil tersenyum pagi itu. Sehabis bicara, wajahmu meringis kembali.

“Kau merasa sakit?” Aku bertanya. Kau hanya menggeleng, kemudian tersenyum dan berucap, “Tidak ada orang yang betul-betul sehat. Hanya saja aku lebih sakit darimu.” Kau tertawa meniru kata yang ditulis oleh pengarang itu.

Lihat juga...