CERPEN ISBEDY STIAWAN ZS
KAPAL ini usianya sudah tua, kalau boleh dibilang uzur. Nakhodanya tak fasih membaca ataupun menafsir lautan. Para anak buah kapal tak lebih hanya penumpang. Dalam pelayaran tanpa tujuan; kapal dan dermaga benar-benar asing…
/1/
IA tak sendiri dalam pelayaran itu. Di kapal yang dtumpanginya, ada nakhoda, pelempar dan penarik jangkar, juru mesin, dan anak buah kapal (ABK) lainnya. Tetapi, ketika Khidir membocori lambung kapal dengan linggis dan kapak, ia paling antusias merespon: berteriak-teriak, caci-maki.
Padahal, seluruh orang di dermaga tahu: kapal itu memang usianya sudah uzur, pengemudinya tak tahu peta laut, rahasia badai, serta alamat dermaga.
“Bagaimana kapal bisa berlayar nyaman dan aman, sedang awak kapal tak tahu bagaimana mengarahkan ke angin dan gelombang tenang?” ujar pengunjung dermaga.
Kapal itu, kata dia lagi, berlayar di laut keruh dan dangkal. “Tunggu saja karam,” imbuhnya.
Tetapi, kapal itu bersikukuh harus berlayar. Meski di tubuh awaknya berganti posisi. Nakhoda dipecat dan hanya ditempatkan sebagai pembaca arah angin. Juru mesin dipindah dan kini hanya jadi peramal. Sedang ia hanyalah penjaga tali bendera. Bertugas mengganti warna bendera saat memasuki wilayah asing. Dan ia justru paling berang manakala ada orang, Khidir namanya, mencoba membocori kapal.
/2/
DERMAGA remang. Tiang-tiang lampu tak begitu banyak, dan sebagiannya mati. Lampu kuning mengusap dingin dermaga. Ombak menderu lembut. Angin tak kencang. Para pemancing di ujung bom ngelangut. Dari jauh terlihat bagai onggok kayu patah di bibir pelabuhan. Api dari rokok yang diisap mereka, seperti kunang-kunang; hilang dan muncul.