Cincin Memorabilia 1965 Milik Mangku Gejor

CERPEN WAYAN SUNARTA

Mangku Gejor termenung di beranda rumahnya. Angin senja berhembus perlahan, menebarkan harum bunga-bunga kenanga. Mangku Gejor menghisap rokoknya perlahan. Kopi dalam cangkir telah dingin karena tak disentuhnya dari tadi.

Pucuk-pucuk kenanga bergoyang ditiup angin. Pikiran Mangku Gejor makin tak menentu. Dia kembali teringat permintaan cucu kesayangannya, Wayan Darya. Sesungguhnya, permintaan cucunya sangatlah sepele. Dan, semestinya Mangku Gejor bisa memenuhinya.

Wayan Darya tidak meminta Mangku Gejor untuk menjual tanah, lalu membeli mobil, seperti kelakuan teman-teman sebayanya yang suka memamerkan harta warisan orang tua. Meski Mangku Gejor memiliki tanah yang siap dijual kapan pun dia mau, cucunya cukup metilesan raga, tahu diri, untuk tidak menggerogoti harta warisan. Wayan Darya hanya meminta sebuah cincin. Ya, sebuah cincin!

Meski hanya sebuah cincin, permintaan Wayan Darya telah membuat Mangku Gejor tak bisa tidur. Seandainya cucunya meminta mobil, tentu Mangku Gejor dengan mudah memenuhinya, semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, yang diminta cucunya adalah sebuah cincin pusaka yang tersimpan di pelangkiran, di kamar suci Mangku Gejor.

Sudah tiga hari Wayan Darya tak pulang ke rumah. Mangku Gejor makin prihatin dan cemas dengan keadaan cucunya. Mangku Gejor kembali teringat percakapan sebelum cucunya menghilang dari rumah.

“Kek, saya dengar-dengar, katanya kakek punya cincin pusaka, ya?” Wayan Darya menghampiri kakeknya yang baru keluar dari kamar suci.

“Tidak. Kakek tidak punya cincin pusaka. Siapa yang bilang?” Mangku Gejor merangkul cucu kesayangannya, dan mengajaknya duduk di beranda rumah.

Lihat juga...