Gaji yang diterimanya hanya Rp35.000 per bulan. Sama sekali jauh dari harapan, dan untuk biaya sehari-hari dan bayar sewa kost saja kurang. Tak jarang, ia sering pinjam uang kepada teman, dan setiapkali pulang kampung di Jepara, sekembalinya ke Semarang ia membawa beras dari orangtuanya. Saat itu, Nurul pun hanya mampu menyewa sebuah kamar kost seluas 3 x 3 meter, tanpa kasur dan perabotan apa pun. Namun, karir pekerjaan Nurul cepat menanjak, berkat kinerja dan kejujurannya selama bekerja.
Setelah 3 bulan bekerja sebagai CS, Nurul yang dinilai baik kinerjanya diangkat sebagai karyawan tetap, dan menjadi tukang cuci piring selama 4 bulan. Sudah itu, ia diangkat lagi menjadi juru masak selama 4 bulan, lalu diangkat sebagai kasir selama 6 bulan, dan menjadi supervisor selama 1 tahun. Karena kekosongan jabatan, Nurul kemudian diangkat lagi sebagai auditor, dan setelah itu menjadi manajer area selama 2 tahun.
Jabatan sebagai manajer area, membuat Nurul harus sering bepergian keluar kota untuk memberikan pelatihan kepada para karyawan baru di berbagai kota di Jawa Tengah, seperti Semarang, Magelang, Solo dan Yogyakarta. Dan, seiring pekerjaannya yang meningkat itu, pada usia 29 tahun, ketika menjadi manajer area sebuah resto ayam goreng krispi di Yogyakarta, ia menikah dengan Emy Setyawati, seorang karyawati toko swalayan di Yogyakarta yang saat itu dipacarinya selama 2 bulan.
Namun, meski jabatannya sudah manajer, gajinya tetap dirasa kurang. Apalagi, tak lama setelah menikah itu, pada 1997, Nurul dikaruniai anak. Emy lalu membantu ekonomi dengan membuat roti. Hidup pas-pasan tak membuat Nurul patah arang. Namun, hempasan ekonomi pada 1998, dengan terjadinya krisis moneter, hidup semakin dirasa berat. Saat itu, Nurul memutuskan keluar dari pekerjaannya dan berniat membangun bisnis sendiri.