JUMAT, 2 DESEMBER 2016
MAJALENGKA—Kisruh alih fungsi lahan untuk proyek Bandarudara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Desa Sukamulya antara warga dengan Pemerintah Kabupaten Majalengka dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat membawa sebuah fenomena baru mengenai isu “rumah hantu”. Rombongan Komisi IV DPR RI yang melakukan kunjungan kerja mendadak ke Majalengka, berdasarkan laporan adanya bentrokan alih fungsi lahan, sangat terkejut sehingga merasa perlu mengetahui lebih jelas tentang fenomena tersebut.
Maksud “rumah hantu” itu sendiri, menurut dugaan warga Desa Sukamulya yang diwakili Kusnadi, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Majalengka, Boy Supanget Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Majalengka, dan Otong Rustam penduduk asli Desa Sukamulya, merupakan upaya pengembang swasta yang mendompleng di proyek pembangunan BIJB untuk pengadaan rumah bagi warga yang lahannya terkena alih fungsi dan sudah diberikan ganti rugi.
![]() |
Titiek Soeharto berbincang dengan Ketua KTNA Majalengka, Boy Supanget. |
Oknum pengembang membangun rumah-rumah di atas lahan kosong yang berdampingan dengan BIJB dan rencananya akan dibeli pihak BIJB seharga Rp100 juta dari pihak pengembang. Uang ganti rugi dari warga yang lahannya terkena proyek alih fungsi nantinya dipotong sebesar Rp 25 juta sebagai biaya pembelian rumah tersebut.
Rumah yang akan dibangun, nanti berada di lahan yang sudah dibebaskan BIJB dan masyarakat digiring membeli lahan tersebut berikut rumah-rumah sederhana yang dibangun di atasnya. Selain proyek itu membingungkan sekaligus berbelit maksud, tujuan serta prosesnya, maka apa yang dapat diolah warga jika tinggal di lahan yang diapit landasan pacu bandara.