Tantangan Dunia Islam: Memadukan Peradaban Spiritual dan Material

Pertanyaan penting lain: apakah dunia yang telah sangat materialistik masih terbuka terhadap peradaban spiritual Islam. Jawabannya, secara sosiologis, adalah ya—dengan syarat Islam tampil bukan sebagai ideologi eksklusif. Melainkan sebagai sumber etika universal. Krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan kecemasan akibat teknologi membuat banyak masyarakat global mencari nilai-nilai alternatif yang mampu menyeimbangkan kemajuan material. Sebagaimana tercermin dalam diskursus etika global dan pembangunan berkelanjutan (Hans Küng, Global Responsibility; agenda Sustainable Development).

Dalam konteks ini, nilai-nilai Islam seperti keadilan distributif, larangan eksploitasi, solidaritas sosial, dan tanggung jawab ekologis memiliki daya tarik lintas agama dan budaya. Islam tidak harus “mengislamkan dunia” (memaksa ritual ibadah Islam), tetapi dapat memberi arah moral bagi peradaban global. Sebagaimana pernah terjadi pada masa keemasan Islam ketika dunia menjadikan peradaban Islam sebagai pusat ilmu dan etika tanpa harus memeluk Islam secara formal. Hal ini dicatat sejarawan peradaban seperti Marshall Hodgson (The Venture of Islam) dan George Makdisi dalam kajian tentang institusi keilmuan Islam klasik.

Dari perspektif internal, Dunia Islam harus melakukan transformasi serius. Pendidikan perlu direformasi agar melahirkan ilmuwan yang beradab dan ulama yang melek sains. Sebagaimana ditekankan Fazlur Rahman, pemikir Islam modern asal Pakistan, dalam gagasannya tentang integrasi etika dan intelektualitas (Islam and Modernity).

Ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka etika, bukan sekadar imitasi teknologi Barat. Institusi sosial seperti zakat dan wakaf perlu dimodernisasi agar berfungsi sebagai instrumen keadilan sosial yang efektif dalam dunia modern. Sebagaimana dibahas dalam literatur ekonomi Islam kontemporer.