Tantangan Dunia Islam: Memadukan Peradaban Spiritual dan Material

Dalam paradigma ini, sains dan teknologi diperlakukan sebagai entitas netral nilai. Sementara agama dan etika dipinggirkan ke ruang privat. Akibatnya, kemajuan material berkembang pesat. Tetapi kehilangan kompas moral yang memandu arah penggunaannya.

Para pemikir Barat sendiri mengkritik kondisi ini. Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman abad ke-19, berbicara tentang “kematian Tuhan” sebagai metafora runtuhnya fondasi nilai transenden (The Gay Science; Thus Spoke Zarathustra). Martin Heidegger, filsuf eksistensial Jerman, memperingatkan bahwa teknologi modern melalui konsep Gestell dapat menjadikan manusia sekadar objek produksi (The Question Concerning Technology).

Mazhab Frankfurt, terutama Theodor Adorno dan Max Horkheimer, filsuf dan teoritikus sosial Jerman, menyebut rasionalitas modern sebagai rasionalitas yang menindas. Karena menjadikan akal semata alat dominasi (Dialectic of Enlightenment). Kritik-kritik ini menunjukkan peradaban material, ketika berdiri sendiri, tidak cukup untuk menopang kehidupan manusia yang bermakna.

Berbeda dengan modernitas Barat, Islam secara konseptual tidak mengenal dikotomi material – spiritual. Prinsip tauhid menegaskan kesatuan realitas: dunia dan akhirat, ilmu dan amal, rasio dan wahyu berada dalam satu kesatuan makna. Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan bukan sekadar alat menguasai alam. Melainkan amanah yang harus digunakan untuk kemaslahatan manusia dan keseimbangan kosmos, sebagaimana tercermin dalam konsep khalifah fi al-arḍ (Q.S. al-Baqarah: 30).

Syed Muhammad Naquib al-Attas, filsuf Muslim kontemporer asal Malaysia dan pelopor kajian filsafat pendidikan Islam, menegaskan krisis peradaban modern pada dasarnya krisis adab. Hilangnya penempatan ilmu, manusia, dan tujuan hidup pada posisi yang benar (Islam and Secularism; Prolegomena to the Metaphysics of Islam).