Malik Bennabi, pemikir peradaban asal Aljazair secara khusus mengkaji kebangkitan dan kemunduran dunia Islam. Melihat kemunduran Dunia Islam bukan sebagai krisis agama, melainkan krisis peradaban. Umat Islam kehilangan kemampuan menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam sistem sosial, politik, dan teknologi yang efektif (The Conditions of the Renaissance; The Question of Culture). Pandangan ini menggarisbawahi: Islam memiliki modal nilai yang sangat kuat, tetapi sering gagal menginstitusikannya dalam bentuk peradaban material.
Secara normatif dan konseptual, Dunia Islam memiliki kesiapan relatif lebih besar dibanding elemen peradaban lain untuk memadukan dua kutub tersebut. Islam menawarkan kerangka etika komprehensif melalui konsep keadilan (‘adl), kemaslahatan (maṣlaḥah), tanggung jawab khalifah, dan maqāṣid al-sharī‘ah. Kerangka ini pertama kali disistematisasi oleh Abū Isḥāq al-Shāṭibī, ulama usul fikih Andalusia abad ke-14, dalam al-Muwāfaqāt. Dikembangkan oleh pemikir kontemporer seperti Jasser Auda, sarjana hukum Islam modern, dalam Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law.
Kesiapan ini baru bersifat potensi. Bukan aktual. Dunia Islam saat ini masih tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi strategis, lemah dalam institusi riset, dan sering terjebak konflik internal serta politisasi agama.
Kepemimpinan peradaban Islam tidak bisa dibangun melalui klaim moral semata. Tetapi harus diwujudkan dalam bentuk keteladanan konkret: tata kelola yang adil, ekonomi yang berkeadilan, dan teknologi yang berpihak pada kemanusiaan. Sejalan dengan analisis Ibn Khaldun, sejarawan dan sosiolog Muslim abad ke-14. Ia menekankan keterkaitan antara moral, kekuasaan, dan keberlanjutan peradaban dalam al-Muqaddimah.