Makanan saja tidak cukup. Paket airdrop harus dikemas dalam box standar kedap air, tahan benturan, dan tahan tekanan saat jatuh dari udara. Box ini tidak bisa menggunakan kardus biasa. Ia harus dirancang khusus agar isinya tetap utuh. Meskipun dijatuhkan dari ketinggian rendah hingga menengah. Setiap box juga harus dilengkapi sistem parasut sederhana atau mekanisme peredam jatuh. Agara paket tidak rusak dan tidak membahayakan penerima di bawahnya.
Tanpa standar box, berat, dan sistem pengaman ini, airdrop akan selalu berisiko tinggi dan terbatas skalanya. Inilah penyebab pengiriman udara di Indonesia sering dilakukan secara selektif dan terbatas. Bukan secara masif dan cepat.
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki standar nasional yang mendefinisikan secara jelas apa itu Ready Airdrop Kit. Tidak ada spesifikasi resmi mengenai berat maksimal, komposisi pangan, durasi pemenuhan kebutuhan keluarga, jenis kemasan, maupun sistem parasut yang digunakan. Akibatnya, tidak ada produsen nasional terdorong memproduksi paket ini secara massal dan berkelanjutan.
Ketiadaan standar ini membuat sistem logistik bencana bergantung pendekatan konvensional. Bantuan dikumpulkan setelah bencana terjadi, dikemas secara darurat, lalu didistribusikan dengan segala keterbatasannya. Relawan dan komunitas masyarakat sering berinisiatif menutup celah ini. Pendekatan tersebut tidak bisa menggantikan peran negara dalam menyiapkan sistem terstruktur.
Kasus Aceh kembali menunjukkan dampak dari ketiadaan ini. Meskipun kebutuhan pangan jelas dan akses udara tersedia, bantuan tidak bisa langsung dijatuhkan secara luas. Karena paketnya sendiri belum siap untuk dijatuhkan.