Isu Sparatisasi Sudah Tidak Efektif?

Realitas terbaru itu menjadikan permusuhan terhadap Indonesia bukan pilihan rasional. Justru merugikan negara-negara barat. Indonesia penghubung Samudera Hindia–Pasifik, 9 dari 10 jalur pelayaran dunia lewat perairan Indonesia.

Pada era dunia multipolar saat ini, negara-negara besar (AS, Tiongkok, UE, Rusia, India) lebih berkepentingan menjaga stabilitas dan akses ke sumber daya Indonesia. Daripada memecahnya dan menciptakan ketidakpastian politik. Indonesia, Brasil, Turki, Afrika Selatan menjadi middle power: penjaga keseimbangan kekuatan global. Merupakan bunuh diri ketika harus merecoki Indonesia dengan mendukung sparatisasi.

Kasus Timor Leste kini sepi dukungan dari Australia dan Portugal. Aliansi mereka, negara-negara barat, sedang menghadapi kemerosotan hegemoinya. Merecoki Indonesia bukan pilihan yang menguntungkan. Timor Leste terjepit. Harus merayu Indonesia untuk bisa masuk ASEAN.

Bagaimana dengan Aceh dan Papua?. Potensi SDA memang lebih kaya dari Timor Leste. Aceh juga berada dalam posisi strategis. Pintu masuk selat Malaka. Akan tetapi tidak memiliki bargaining memaksimalkan potensinya itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran sendiri. Ia akan menjadi potensi untuk dirugikan dalam skema investasi asing. Sebagaimana Timor Leste dengan Australia dalam kasus minyak celah Timor.

Di luar potensi itu, Aceh dan Papua posisinya mirip Timor Leste. Kelebihan eksistensi Aceh di selat Malaka tetap kalah pamor oleh Singapura. Juga oleh terusan Thailand jika beroperasi. Mengendalikan selat Malaka melalui Aceh juga tetap memerlukan Indonesia dalam memasuki wilayah Indonesia yang lain. Kepentingan internasional lebih efisien mengendalikan satu pintu: Indonesia.