Kita bisa belajar 5 aspek dari Timor Leste.
Pertama, kepemilikan SDA tidak menjamin akan kaya. Perlu investor (jika miskin modal dan SDM) dan kemampuan bargaining yang setara untuk memperoleh sharing yang adil dalam kerjasama. Tanpa kekuatan instrumen bargaining, posisinya akan dirugikan. Sebagaimana kasus eksplorasi celah Timor bersama Australia. Kini Cadangan minyak sudah menipis, Timor Leste belum beranjak kaya. Bahkan terancam bangkrut.
Kedua, jumlah penduduk yang sedikit, kualitas SDM belum kuat dan kapasitas kelembagaan lemah. Jumlah penduduknya 1,5 juta. Terlalu kecil untuk menggerakkan pasar domestik atau ekonomi skala besar.
Ketiga, terjepit secara geopolitik. Berbeda dengan Singapura, ia berada pada posisi strategis selat Malaka. Singapura jualan fasilitas jasa perlintasan jalur strategis internasional. Timor Leste terjepit secara geopolitik.
Keempat, bukan aliansi strategis negara kuat. Seperti Israil dibela Amerika. Juga tidak sama dengan Singapura sebagai bagian aliansi pemenang PD II. Sejak era itu, Singapura menjadi satelit negara-negara barat. Untuk mengamanan kepentingannya di Asia Tenggara. Timor Leste tidak diposisikan seperti itu. Apalagi pasca minyaknya terkuras, Australia tidak memberi dukungan signifikan.
Kelima, pergeseran geopolitik global. Hegemoni negara-negara barat sedang merosot. Tahun 1997-8 negara-negara barat mampu menghentikan skenario “tinggal landas”-nya Indonesia. Tapi tidak mampu menghentikan munculnya hegemoni Asia. RRC menjadi kekuatan besar menggeser negara-negara barat. Mereka lebih sibuk menghadapi kemunculan RRC yang semakin kuat dan berharap dukungan negara-negara lain seperti Indonesia. Bahkan Indonesia diprediksi memiliki kekuatan ekonomi ke-4 dunia tidak lama lagi. Kisaran 2050.