Titiek Soeharto sendiri bukan orang baru dalam puncak-puncak pergolakan bangsa. Peran ini tidak banyak dipublikasikan.
Tahun 1997, ketika krisis menghantam Indonesia. Titiek Soeharto dikirim sebagai negosiator bertemu PM Singapura. Lee Kwan You. Meminta agar Lee membantu menghentikan permainan operator-operator keuangan proxi AS yang bermarkas di Singapura. Kala itu “mengobok-obok” ekonomi Indonesia.
Titiek tidak sukses menjalankan misinya. AS masih sangat superior kala itu. Lee tidak bisa melawan AS. Ia hanya tidak setuju Presiden Soeharto di “Marcos” kan. Diktaktor korup dari Filiphina. “Soeharto lebih mulia dari itu”, kata Lee. Tapi ia tidak bisa membantu ambruknya kekuasaan Soeharto. Juga ekonomi Indonesia.
Tahun-tahun itu Titiek sudah menjadi titik temu pergolakan AS-Singapura-Presiden Soeharto. Ia ibarat seorang putri raja dikirim misi rahasia, menahan laju serangan musuh. Berinteraksi dengan banyak pihak.
Era reformasi, peranannya sebagai perangkai beragam faksi tidak ter-highlight. Peran itu tidak berhenti. Ia sering tampak hadir dalam undangan pejabat, keluarga pejabat, mantan pejabat atau Kasultanan-Kasultanan di ASEAN. Lebih sebagai misi informal. Tidak dalam misi resmi negara. Menjalin komunkasi dengan beragam faksi di luar negeri.
Di dalam negeri, pada momen ulang tahun, ia sering undang keluarga-keluarga mantan presiden. Juga keluarga-keluarga mantan pejabat. Ia berusaha memecah kebekuan komunikasi, yang oleh banyak media digambarkan sebagai “suasana pertengkaran”.
Titiek Soeharto tentu bukan saja menjadi saksi jarak dekat. Bahkan turut merasakan beragam vibes. Ketika ayahandanya memperoleh tekanan para oposisi dari kalangan militer, seperti petisi 50.