Mary Jane: Keadilan atau Sindikat Narkoba

Terhadap diskresi Presiden Prabowo itu kita bisa sodorkan sejumlah hipotesa.

Pertama, kemenangan sindikat narkoba. Dipulangkannya Mery merupakan keberhasilan kampanye jaringan sindikat narkoba menggagalkan hukuman mati agen-agennya. Tetap saja sulit dibedakan dari kalangan pendukung anti hukuman mati itu. Apa murni aktivis HAM, atau pendukung sindikat narkoba.

Dalam sejumlah narasi yang dibangun mirip. Hukuman mati tidak dibenarkan kemanusiaan. Tanpa memberi kestimbangan bobot pembunuhan kemanusiaan oleh narkoba. Selai itu juga narasi kelemahan hukum penjerat pedagang narkoba. Ketidakakurasian hukum dijadikan pintu tudingan bahwa terpidana tidak layak dihukum mati.

Kedua, adanya kelemahan hukum Indonesia menguak mens rea. Pada sudut ini, dipulangkannya Mery merupakan cerminan kemenangan keadilan. Sistem hukum Indonesia dianggap banyak kelemahan. Tidak mampu mengungkap sikap batin, pikiran, niat, atau keadaan mental dari si pelaku tindak pidana. Terbukti tertangkapnya perekrut Mery di Filiphina. Ia hanyalah korban human trafficking. Maka dalil, “adanya kesalahan hukum” atas divonis matinya Mery, memiliki alasan pembenar.

Ketiga, merupakan cerminan kegigihan dan keberhasilan pemerintah Filipina menyelamatkan warganya. Prinsip “melindungi segenap bangsa” dijalankan betul oleh Filipina. Dengan berbagai argumen mereka gagalkan hukuman mati warganya di luar negeri. Presiden Prabowo tidak bisa menghindar atas desakan itu. Ia sendiri pernah merasakan bagaimana sulitnya membebaskan TKI tervonis hukuman mati di Malaysia.

Keempat, way out Indonesia ketika menghadapi kasus serupa. Data per Juni 2024:  165 WNI menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri. Di Malaysia (155 orang), Arab Saudi (3 orang), Laos (3 orang), dan Vietnam (1 orang).

Lihat juga...